Jama'ah Penuh Berkah

Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqah antara qiyadah dan jundiyah menjadi penentu bagi sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan.

Bekerja Untuk Indonesia

Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (9:105)

Inilah Jalan Kami

Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik. (12:108)

Biduk Kebersamaan

Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.

Kesungguhan Membangun Peradaban

Semua kesungguhan akan menjumpai hasilnya. Ini bukan kata mutiara, namun itulah kenyataannya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan.

Selasa, 30 Agustus 2011

Rahasia Di Balik Orang Beramal dan Berharakah



Manusia diciptakan Allah SWT atas suatu fitrah (Q.S. 30). Fitrah itu gambarannya mirip dengan seseorang yang haus, maka ia akan berusaha mendapatkan air guna mengusir rasa dahaganya. Dan selama belum mendapatkannya, ia akan terus mencari dan mencari sehingga mendapatkannya.

Dan fitrah manusia yang paling kuat adalah fitrah untuk menghambakan diri kepada-Nya, istilah Jawanya fitrah untuk ngemawula. Maksudnya merendahkan diri serendah-rendahnya, mengekspresikan keperluan dan kefakirannya, menangis, meratap, memuja, memuji dan menumpahkan segala rasa rindu, perlu, hajat, pasrah, memelas, memohon disertai dengan rasa cinta yang sepenuhnya kepada Allah SWT.

Jika seorang manusia belum atau tidak pernah menumpahkan semua rasa ini, ia akan selalu diliputi “rasa haus” dan baru hilang “dahaga” hatinya jikalau sudah menumpahkan semua rasa ini kepada-Nya. Fitrah seperti inilah yang mendorong manusia bekerja dan terus berharakah untuk dapat meraih ridha Tuhannya, terus berupaya mempertahankan posisi diridhai ini dan bahkan terus menerus meningkatkan amal dan harakahnya agar semakin dekat dan semakin dekat lagi. Istilahnya adalah taqarrub (terus menerus berusaha mendekatkan diri kepada-Nya).

Jika upaya personal dan individualnya ini merasa terancam oleh lingkungannya, maka ia pun lanjutkan kerja dan harakahnya untuk mendakwahi lingkungannya, mempengaruhi mereka agar mengikuti jejaknya. Jika lingkungan kecilnya terancam oleh lingkungan yang lebih besar, maka ia dan lingkungan kecilnya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempengaruhi lingkungan yang lebih besar tersebut.

Kesungguhannya (jihadnya) terus ditingkatkan agar suasana ngemawulo pada lingkungan yang agak besar ini tidak terancam oleh lingkungan yang lebih besar lagi dan begitu seterusnya, hatta la takuna fitnatun wa yakuunad-dinu kulluhu lillah (QS. Al-Anfal: 39).

Menariknya adalah kalau manusia menjalankan semua kerja, harakah dan jihad tadi karena kesadarannya akan fitrahnya, maka di situlah puncak kesenangannya, bahkan puncak kenikmatannya, ibaratnya, ya seperti orang kehausan tadi, yang lalu menemukan air yang segar, maka cepat-cepat ia akan menghirupnya, lalu dia pun berkata: “ennaaaak tenaannn“, alhamdulillahilladzi hadana lihadza, wama kunna linahtadiya lauwla an hadanaLlah (QS. Al-A’raf: 43).

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/08/14108/rahasia-di-balik-orang-beramal-dan-berharakah/

Senin, 29 Agustus 2011

Inilah Alasan Saya Berlebaran Mengikuti Pemerintah


Oleh: Hatta Syamsuddin
(Dosen Mahad Abu Bakar UMS Solo)*

Lebaran telah diambang pintu. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, tahun ini diprediksi juga akan ada perbedaan waktu hari raya idul fitri. Masyarakat awam banyak yang bingung, sebagian ikut-ikutan, sebagian tidak peduli, tapi sebagian ikut berpolemik masalah hal ini. Bahkan ada yang baru baca satu dua artikel tentang hisab rukyat di internet, sudah gagah berani membantah dan mengkritisi pendapat profesor di bidang Astronomi yang sudah bertahun-tahun mendampingi proses hisab rukyat di Indonesia.

Potensi perbedaan yang ada berkutat antara tanggal 30 Agustus dan 31 Agustus saja, dengan ragam metode yang digunakan. Muhammadiyah misalnya dengan metode hisab dan kriteria wujudul hilal, jauh-jauh hari telah mengumumkan Idul Fitri 1432 H jatuh pada Selasa 30 Agustus. Ormas Persis menyusul kemudian, dengan metode hisab tapi dengan kriteria imkanurrukyah, mereka mengumumkan Idul Fitri 1 Syawal jatuh pada Rabu, 31 Agustus 2011. NU yang memiliki metode rukyatul hilal versi lokal (ikhtilaful mathla’), tentu menunggu Senin malam 29 Agustus untuk memutuskan kapan berhari raya, meskipun di dalam NU juga banyak pakar hisab yang siap ‘legowo’ menerima kriteria imkanurrukyat. Beberapa ormas seperti HTI yang biasa mengikuti rukyah global di Saudi, juga akan menunggu keputusan ulama Saudi Senin malam inysa Allah. Meskipun jika dilihat secara penghitungan (hisab), -baik di Indonesia maupun Saudi – maka hilal kemungkinan besar tidak akan terlihat sehingga Ramadhan akan digenapkan menjadi 30 hari, dan lebaran pada 31 Agustus 2011.

Lalu bagaimana dengan pemerintah ? Sejak awal pemerintah melalui Kemenag dan MUI akan menyelenggarakan sidang itsbat pada akhir Ramadhan, untuk menentukan 1 syawal 1432. Metode yang digunakan pemerintah adalah menggabungkan antara hisab dan rukyatul hilal. Maka berkaca dari pengalaman sebelumnya, hisab dan serta hasil rukyat (yang diprediksi tidak akan terlihat), hampir bisa dipastikan keputusan pemerintah 1 Syawal 1432 akan jatuh pada 31 Agustus 2011.

Sebagai orang awam yang tidak tahu sepenuhnya tetek bengek soal astronomi, dan juga dalil-dalil mendalam seputar hisab dan rukyat, maka saya insya Allah akan mengikuti pemerintah. Tulisan ini dibuat tanpa bermaksud untuk masuk dalam polemik pembahasan dan metode yang ada, namun sekedar memandang sisi luar dan maslahat dan manfaat yang ada saat kita mengikuti berlebaran bersama pemerintah.


Pertama : Kewajiban Mengikuti Pemerintah dalam Hal yang bukan Maksiat
Karena saya orang awam, bukan ahli ijtihad, maka dalam masalah semacam ini tentu layak saya menyerahkan urusan ini kepada yang berwenang memutuskannya khususnya pemerintah. Dalam hal ini saya berpegangan kepada Fatwa MUI no 2 tahun 2004, pasal kedua yang menyebutkan : Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Dalil-dalil syar’i tentang kewajiban taat dan mengikuti ulul amri banyak tersebar dalam Al Quran dan Sunnah. Sebagai orang awam, wajar saya untuk berpegangan dengan Fatwa MUI.

Perbedaan pendapat dalam fikih memang sesuatu yang lumrah dan wajar terjadi. Namun dalam masalah yang penting dan menyangkut kepentingan orang banyak, maka keputusan pemerintah semestinya ditaati. Apalagi jika hal tersebut berpeluang mengundang permasalahan dan perselisihan, maka tepatlah kaidah fikih yang menyebutkan : “Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat”.

Realita hari ini, saya menyayangkan adanya masjid-masjid yang sama sekali tidak memiliki afiliasi khusus pada salah satu ormas Islam yang ada, hanya sekedar masjid kampung dan masjid warga biasa, lalu takmir masjid bermusyawarah menentukan idul fitri yang tidak sejalan dengan pemerintah. Saya rasa mereka tidak memiliki alasan khusus untuk “berijtihad” dalam permasalahan semacam ini.

Kedua : Untuk Merayakan Bersama-sama dengan Penuh Ukhuwah dan Meriah
Tidak dipungkiri lagi perbedaan Hari Raya sedikit banyak akan mengurangi syiar ukhuwah dan persatuan umat Islam. Sementara secara dalil dan filosofisnya, idul fitri adalah hari Raya kaum muslimin yang semestinya memperlihatkan ukhuwah dan persatuan yang luar biasa. Berhari raya bersama banyak orang adalah salah satu anjuran syariah kita, bukan dengan sedikit orang apalagi segelintir orang. Riwayat hadist dari Abu Hurairah menyebutkan, Rasulullah SAW bersabda : “ Puasa adalah hari dimana kalian (orang-orang) berpuasa, dan hari raya berbuka (idul fitri-red) adalah hari dimana kalian (orang-orang) berbuka (dan berhari raya )“. (HR Tirmidzi dishahikan oleh Albani). Sebagian ulama menafsirkan hadits di atas dengan kesimpulan: “ bahwa berbuka dan berhari raya itu (haruslah) bersama-sama jama’ah dan sebagian besar (orang-orang) kaum muslimin.

Selain itu, beberapa hadits seputar Idul Fitri mengisyaratkan bahwa lebaran adalah ibadah yang merupakan syiar dan simbol, dimana kebersamaan dan ukhuwah menjadi ciri khususnya. Lihat saja bagaimana tentang anjuran sholat di Lapangan yang besar, juga anjuran untuk mengajak para wanita bahkan sekalipun mereka dalam kondisi haid ! Ini menunjukkan salah satu semangat dalam beridul fitri adalah mengoptimalkan kebersamaan.

Karenanya, jika ada perbedaan dalam penentuan idul fitri, maka yang paling banyak diikuti dan bisa menunjukkan syiar dan ukhuwah Islam itulah yang layak untuk diikuti, dalam hal ini bisa diwakili dengan keputusan pemerintah yang biasanya diikuti sebagian besar kaum muslimin di Indonesia,

Akhirnya, tentu kita semua bersepakat tentang pentingnya menjaga ukhuwah umat dan menghindarkan dari segala potensi perselisihan dan perpecahan. Dan sungguh menakjubkan, para ulama kita sejak awal siap untuk ‘berlegowo’ dalam arti tidak memaksakan pendapatnya saat dihadapkan dengan kemungkinan perselisihan dan perpecahan umat. Dan hal ini pun mereka lakukan dalam masalah ibadah ritual yang mereka yakini sepenuhnya, dan diyakini banyak orang tidak bisa diganggu gugat.

Saya ambil contoh sederhana, meskipun Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca qunut ketika shalat shubuh itu bid’ah. Namun beliau jelas mengatakan: ‘Jika seseorang shalat bermakmum pada imam yang membaca qunut maka hendaknya ia mengikuti dan mengamini doanya’. Subhanallah, tentu statemen beliau tersebut ditujukan dalam rangka persatuan, dan mengaitkan hati dan menghilangkan kebencian diantara kaum muslimin.

Sebaliknya, Imam syafii berpendapat bahwa membaca Qunut hukumnya sunah muakkad dan beliau selalu membacanya tiap shalat. Namun suatu ketika beliau menjadi imam shalat subuh di sebuah masjid dekat makam Abu Hanifah, lalu tidak membaca Qunut. Selesai shalat, seorang bertanya apa gerangan yang penyebabkan beliau tidak membaca qunut? Beliau menjawab “ Mana mungkin saya melakukan amalan yang tidak sejalan dengan pendapat Abu Hanifah, sedangkan saya berada dekat dengan (kubur)nya. Inilah bentuk legowo dan toleransi para ulama terdahulu bahkan dalam hal yang terkait sebagai ibadah.

Nah, bagaimana dengan ulama kita dari ormas-ormas yang ada ? Siapkah untuk berlegowo dalam masalah penentuan hari raya demi mewujudkan persatuan umat dan syiar hari kemenangan yang indah ?. Legowo disini juga dalam arti siap duduk kembali, saling membahas hal ini secara objektif dan ilmiah agar menemukan kriteria-kriteria yang disepakati, sebagaimana sering digaungkan oleh Profesor Thomas Djamaluddin dari LAPAN tentang harapan penyatuan kalender umat Islam Indonesia secara khusus.
Saya tinggal lima tahun di Sudan, perbedaan hari raya hanya ada di kitab-kitab fiqh semata, secara realita tidak ada. Banyak ulama dan orang faqih di Sudan, namun mereka semua berlegowo dalam masalah ini, menyerahkannya hanya pada pemerintah saja. Wallahu a’lam

Semoga bermanfaat dan salam optimis!

*)sumber: http://www.indonesiaoptimis.com/2011/08/inilah-alasan-saya-berlebaran-mengikuti.html

Petisi Online Ukhuwah Dan Pesatuan



Sebuah petisi muncul di dunia maya. Petisi tersebut menyerukan persatuan para pemimpin umat Islam dalam penentuan Hari Raya ‘Idul Fitri. Berdasarkan pantauan islamedia, petisi yang ada di alamat http://www.petitiononline.com/ukhuwwah/petition.html itu dikoordinatori oleh Ir. Budi Handrianto, M.Pd.I. dan dibuat pada Jakarta, 27 Ramadhan 1432 H/27 Agustus 2011. Saat ini baru 68 orang yang "menanda-tangani" petisi tersebut.

Akankah para pemimpin muslim mendengarkan petisi ini? Semoga saja, bila mereka menganggap petisi ini sebagai sesuatu kebaikan.

Berikut ini bunyi petisi online itu:



To: Umat Islam Indonesia
PETISI UKHUWAH DAN PERSATUAN
ASOSIASI PROFESIONAL MUSLIM INDONESIA
--------------------------------------------------------------------
Beda boleh!
SATU LEBIH BAIK!
SATU LEBIH INDAH!

Sudah terlalu sering kita mendengar para tokoh umat Islam bicara tentang ukhuwah Islamiyah; menyatakan bahwa persatuan adalah lebih baik dan lebih dicintai, ketimbang perpecahan. Kata mereka, ber-Idul Fithri tanggal pada 30 Agustus 2011 atau 31 Agustus 2011 adalah sama-sama benar; kita diminta untuk saling menghormati.

Baik! Kita saling menghormati! Itu mudah! Tapi, kita patut bertanya, mengapa para tokoh dan organisasi Islam tidak menyatukan pendapat saja? Jika sama-sama benar, mengapa harus berbeda? Mengapa masing-masing tidak mau mengorbankan pendapatnya dalam masalah khilafiah, demi Persatuan?! Bukankah bersatu lebih baik! Apalagi ini menyangkut ibadah di ruang publik! Soal dalil, itu urusan masing-masing! Bagi kita, umat Islam kebanyakan, yang penting harus SATU!

Ulama terkenal, Dr. Yusuf Qaradhawi berendapat, jika kaum Muslim tidak mampu mencapai kesepakatan pada tingkat global, minimal mereka wajib berobsesi untuk bersatu dalam satu kawasan. Kata Syekh Qaradhawi, tidak boleh terjadi di satu negara atau satu kota kaum Muslim terpecah-pecah; berbeda pendapat dalam masalah penentuan awal Ramadhan atau Hari Raya. Perbedaan dalam satu negara semacam itu, tidak dapat diterima. Kaum Muslim di negara itu harus mengikuti keputusan pemerintahnya, meskipun berbeda dengan negara lain. Sebab, itu termasuk ketaatan terhadap yang ma’ruf. (Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid II (terj.), Jakarta: GIP, 1995, hal. 315).

Kaidah Ushul Fiqih menyatakan: “Al-khurûj minal khilâf mustahabbun” (Menghindar dari perpecahan itu lebih dicintai (sunnah).” (Lihat, Abu Bakar al-Ahdal asy-Syafii, al-Faraid al-Bahiyah fil-Qawaid al-Fiiqhiyyah, (Semarang: Toha Putra, 1997, hal. 24, kaidah no. 12).

*******

KARENA ITU, WAHAI PEMIMPIN ORGANISASI ISLAM, WAHAI PARA ULAMA, MARI KITA LAPANGKAN HATI DAN PIKIRAN KITA!
TINGGALKAN EGOISME KELOMPOK!
BUKALAH PINTU HATI TUAN-TUAN!
TINGGALKAN IJTIHAD DALAM KHILAFIAH, DEMI PERSATUAN UMAT!

********

Jakarta, 27 Ramadhan 1432 H/27 Agustus 2011

Koordinator:
Ir. Budi Handrianto, M.Pd.I. (0817-162044)

Rabu, 24 Agustus 2011

Download Khutbah Iedul Fitri 1432: "MENGGAPAI KEBAHAGIAAN HAKIKI DENGAN HATI FITRI"

Oleh: Admin PKSpiyungan

Khutbah Iedul Fitri ini kami susun dengan target untuk kalangan awam, masyarakat umum yang hidup di pelosok desa, sehingga tema yang kami sampaikan juga tema umum dengan bahasa sederhana yang kami harapkan mudah difahami. Teks Khutbah ini sebenarnya teks khutbah yang secara pribadi dipersiapkan untuk disampaikan pada Sholat Iedul Fitri 1432 di masjid kampung saya, masjid kalangan nahdiyin, yang beberapa waktu lalu meminta saya untuk menjadi khotib.

Sembari untuk menjadi arsip yang mudah dicari, teks Khutbah Iedul Fitri ini kami share disini, mudah-mudahan ada manfaatnya.

(Teks asli terdiri dari 2 bagian: Khutbah pertama dan Khutbah kedua, sebagaimana lazimnya di kalangan Nahdiyin, namun yang kami share disini adalah Teks Khutbah pertama minus doa dengan asumsi teks doa bisa didapat sendiri, begitu pula teks khutbah bagian kedua).

Silahkan download DISINI.


*Sumber : http://pkspiyungan.blogspot.com/

Ramadhan Segera Berlalu

Waktu terus berjalan lurus ke depan. Cepat sekali, dan tidak akan pernah kembali. Rasanya Ramadhan 1432 ini baru saja kita masuki, tidak terasa sekarang sudah berada di sepertiga waktu penghujungnya. Sebagian orang masih bersantai-santai, membuang waktu sambil menunggu waktu berbuka, menyia-nyiakan kesempatan yang sangat istimewa ini tanpa aktivitas ibadah. Sebagian yang lain tampak sangat serius, i’tikaf di masjid siang dan malam, memanfaatkan setiap detik waktu untuk pendekatan diri kepada Allah. Khawatir Ramadhan segera meninggalkan mereka, sementara belum banyak amal ibadah yang dilakukan.

Apapun yang kita kerjakan pada bulan mulia ini, akhirnya toh waktu terus menggulung dan kita akan dipaksa memasuki bulan baru. Ramadhan sebentar lagi berlalu, berganti Syawal. Betapa cepat waktu berlalu, mana ibadahmu? Mana tilawah dan tadarusmu ? Mana rakaat panjang dalam tarawihmu ? Mana istighfarmu? Mana taubatmu ? Mana infakmu ? Mana zakatmu ? Mana dzikirmu ? Padahal hari-hari sangat cepat berganti, Ramadhan sudah mau pergi, namun mengapa masjid semakin sepi?


Di antara hal yang mematikan kehidupan manusia adalah kekosongan waktu (faragh). Ada banyak manusia yang menghanguskan waktu mereka untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya bagi kebaikan diri dan masyarakat, bahkan sebagian yang lain menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk sesuatu yang justru menzhalimi dan merusak diri serta masyarakat. Kerugian sudah pasti akan menjadi milik mereka.

Perhatikanlah betapa berharga waktu-waktu yang kita miliki. Sungguh amat sangat terbatas jatah waktu yang Allah berikan kepada masing-masing kita, sudah semestinya kita mengoptimalkan setiap detik waktu yang ada untuk kebaikan. Jika kita memiliki waktu 5 menit saja yang terbuang percuma setiap harinya, maka selama setahun ada 1.825 menit atau 30,42 jam waktu yang terbuang. Apabila Allah mengaruniakan usia 60 tahun kepada kita, maka ada 1.825 jam atau 76 hari yang terbuang percuma.

Cobalah kita cermati secara seksama, apakah waktu kita yang terbuang percuma lebih dari 5 menit  setiap harinya? Aktivitas apakah yang anda kerjakan di waktu pagi, siang, sore atau malam hari? Kadang ada suasana santai yang menghanguskan banyak waktu. Pada beberapa kalangan, waktu senggang tersebut dimanfaatkan untuk mengobrol dengan tetangga atau teman tanpa tujuan yang jelas. Setiap harinya bisa menghabiskan waktu hingga dua jam untuk omong kosong tersebut, bahkan lebih, dengan tema yang tidak terarah dan semata-mata mengisi waktu luang. Baik di kantor, di rumah, ataupun di restoran dan tempat-tempat umum lainnya, mengobrol seakan-akan telah menjadi kebutuhan pokok.

Jika sehari menggunakan 2 jam waktu untuk mengobrol dengan teman atau tetangga, maka dalam setahun ada 730 jam atau 30,42 hari mengobrol. Jika jatah usia kita 60 tahun maka kurang lebih ada 43.800 jam atau setara dengan 1.825 hari atau 60 bulan atau 5 tahun waktu kita yang habis untuk kepentingan mengobrol saja. Apabila obrolannya membawa manfaat bagi kebaikan diri dan masyarakat, tentu tidak menjadi masalah. Akan tetapi jika obrolannya sekedar menyebarkan isu dan gosip, membicarakan kejelekan orang lain, dan dalam konteks “daripada bengong”, maka sudah barang tentu akan membawa berbagai kerugian.

Jika seseorang mengandalkan ibadahnya hanya kepada shalat wajib lima waktu saja, maka dengan rata-rata pelaksanaan sekali shalat wajib 5 menit, sehari mengerjakan shalat 25 menit. Dengan demikian setahun ada 9.125 menit atau 152 jam atau 6,3 hari saja untuk shalat. Jika jatah usianya 60 tahun, maka untuk ibadah hanya memerlukan 9.125 jam, atau setara dengan 380,2 hari atau 12 bulan atau satu tahun. Padahal untuk mengobrol saja memerlukan waktu 5 tahun.

Tentu saja tidak dilarang untuk mengobrol, jika ada tujuan dan kemanfaatan yang jelas. Akan tetapi hendaknya kita sangat memperhatikan alokasi penggunaan waktu dalam kehidupan sehari-hari, agar tidak hangus secara percuma. Ada banyak waktu yang perlu kita hemat dalam kehidupan sehari-hari. Saat anda di kamar mandi, di meja makan, di kamar saat berganti pakaian atau berhias, di depan televisi, di halte bus, dan di berbagai tempat privat maupun publik. Jika suatu aktivitas telah anda selesaikan, jangan membiarkan ada waktu jeda atau waktu luang yang dibiarkan berlalu sia-sia. Segera kerjakan aktivitas lainnya.
Demikianlah Tuhan mengajarkan kepada kita, “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh  (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (Alam Nasyrah: 7 – 8).

Ramadhan sebentar lagi berlalu, berganti Syawal. Betapa cepat waktu berlalu, mana ibadahmu? Mana tilawah dan tadarusmu ? Mana rakaat panjang dalam tarawihmu ? Mana istighfarmu? Mana taubatmu ? Mana infakmu ? Mana zakatmu ? Mana dzikirmu ? Padahal hari-hari sangat cepat berganti, Ramadhan sudah mau pergi, namun mengapa masjid semakin sepi?

Tuhan menghendaki agar kita tidak memiliki kekosongan waktu atau kesia-siaan. Artinya, satu kegiatan senantiasa bersambung dengan kegiatan yang lainnya, sehingga tidak ada waktu yang tidak terdefinisikan pemanfaatannya, yang cenderung menjadi kesia-siaan. Jika anda telah selesai shalat Subuh, segera lakukan aktivitas lainnya, sampai saatnya anda siap bekerja. Sesampai di tempat kerja, segera lakukan aktivitas kerja hingga tuntas, setelah tiba waktu pulang, segeralah pulang untuk istirahat. Jika telah cukup istirahat, segera kerjakan aktivitas lainnya, demikian seterusnya, sehingga tidak ada satu detik waktu kita yang terbuang percuma.


Ingat, waktu adalah milik manusia yang paling berharga. Kalau sebagian orang mengatakan “time is money”, sesungguhnya yang terjadi lebih dari itu. Jika uang kita hilang satu juta rupiah hari ini, besok kita bisa mendapatkan yang lebih banyak dari itu. Namun jika waktu kita hilang satu jam hari ini, kita tidak akan bisa mencari gantinya pada kesempatan yang lain. Begitu waktu terbuang, ia benar-benar hilang dan tak akan tergantikan dengan tambahan waktu di hari berikutnya.

Setiap pergantian bulan, kita selalu diingatkan dengan pesan penting ini: optimalkan waktu anda. Ramadhan sebentar lagi berlalu, berganti Syawal. Betapa cepat waktu berlalu, mana ibadahmu ? Mana tilawah dan tadarusmu ? Mana rakaat panjang dalam tarawihmu ? Mana istighfarmu ? Mana taubatmu ? Mana infakmu ? Mana zakatmu ? Mana dzikirmu ? Padahal hari-hari sangat cepat berganti, Ramadhan sudah mau pergi, namun mengapa masjid semakin sepi ?

Ramadhan sebentar lagi berlalu. Lalu, dimanakah taqwamu ?


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh93IhCAcYiyBZC2QmGF3kpHH967D9nh0g5PECtQxFTqZBwP5Ub2jRU0CItxBEZLwslR8sLnkvuhqDnuzB47Ucq43742OWNEKgxcd3XpPBVYqlKeuIj4Un0W0D_ZEX2bDsf_T8s3Mb1_hE7/s400/cahyadi+takariawan.jpg
Cahyadi Takariawan
nDalem Mertosanan, 22 Ramadhan 1432 H
*Sumber: http://www.islamedia.web.id

Nasehat Syeikh Jum'ah Amin untuk Kader Dakwah



Nasehat Syeikh Jum'ah Amin untuk kader dakwah:

-Jangan terlalu fokus dengan sebab-sebab materi untuk mencapai kemenangan, tapi kurang fokus pada رَبُّ الْاَسْبَاب "Rabbul asbaab" (Allah yang menjadi Tuhan/Pemilik dari sebab-sebab).

-Jangan terlalu fokus dgn manajemen, idariyah, takhtith (perencanaan), tapi kurang fokus dalam hak-hak Allah. Takhtith dan manajemen baru efektif kalau dilakukan oleh tangan yg berwudhu, kening yg banyak sujud, jiwa yg khusyu', hati yg tenang dan tunduk pd Allah. Tanpa itu, sehebat-hebatnya manajemen dan takhtith yg dilakukan takkan memberi kemenangan.

-Apa yg dianggap orang adalah nafilah (sunah), bagi antum bernilai faridhah (wajib). Dimana posisi antum dalam tilawah minimal 1 juz sehari? Dimana posisi antum dlm raka'at-raka'at saat malam? Dimana posisi antum dalam infak? Dimana posisi antum dlm raka'at dhuha?

-Lawan politik uang yg biasa dijadikan senjata lawan2 politik antum dengan akhlak, dengan ukhuwwah, dan dengan ubudiyah.... Bukan dengan uang juga.

-Senjata antum hanya dua: hubungan baik dgn Allah dan akhlak dgn manusia. Dengan itu, dua cinta berhimpun, cinta Allah dan cinta manusia. Ustadz al-Banna mengatakan: nahnu nuqaatil an naas bil hubb (Kita menaklukan manusia dengan cinta).





*)Syeikh Jum'ah Amin Abdul Aziz seorang tokoh senior dakwah dan juga penulis buku-buku dakwah dan harakah diantaranya kitab Fiqih Dakwah yang telah diterjemahkan dan diterbitkan Era Intermedia.

Renungan Ramadhan -KH Rahmat Abdullah-



"Musuh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan ditengah badai tak akan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air di akhir malam, lapar dan haus di terik siang."-KH Rahmat Abdullah-



Tak pernah air melawan qudrat yang ALLAH ciptakan untuknya, mencari dataran rendah dan semakin kuat ketika dibendung dan menjadi nyawa kehidupan. Lidah api selalu menjulang dan udara selalu mencari daerah minimum dari kawasan maksimum, angin pun berhembus.

Edaran yang pasti dari keluarga galaksi, membuat manusia dapat membuat mesin pengukur waktu, kronometer, menulis sejarah, catatan musim dan penanggalan. Semua bergerak dalam harmoni yang menakjubkan. Ruh pun –dengan karakternya sebagai ciptaan ALLAH– menerobos kesulitan mengaktualisasikan dirinya yang klasik saat tarikan grativasi “bumi jasad” memberatkan penjelajahannya menembus hambatan dan badai cakrawala.

Kini –dibulan ini (Ramadlan)– ia begitu ringan, menjelajah langit ruhani. Carilah bulan diluar Ramadlan – saat orang dapat mengkhatamkan tilawah satu, dua, tiga sampai empat kali dalam sebulan. Carilah momentum saat orang berdiri lama dimalam hari, saat orang menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga rakaat. Carilah musim kebajikan saat orang begitu santainya melepaskan “ular harta” yang membelitnya.

Inilah momen yang membuka seluas-luasnya kesempatan ruh mengeksiskan dirinya dan mendekap erat-erat fitrah dan karakternya.

Marhaban ya syahra ramadlan Marhaban ya syahra’ as-shiyami
Marhaban ya syahra ramadlan Marhaban ya syahra’ al-qiyami.


Keqariban ditengah keghariban (pendekatan diri ditengah keterasingan)

Ahli zaman kini mungkin leluasa menertawakan muslim badui yang bersahaja, saat ia bertanya : “Ya Rasul ALLAH, dekatkah tuhan kita? Sehingga saya cukup berbisik saja atau jauhkah Ia sehingga saya harus berseru kepada-NYA?”

Sebagian kita telah begitu ‘canggih’ memperkatakan Tuhan. Yang lain merasa bebas ketika beban-beban orang bertuhan telah mereka persetankan.

Bagaimana rupa hati yang Ia tiada bertahta disana? Betapa miskinnya anak-anak zaman, saat mereka saling benci dan bantai. Betapa sengsaranya mereka saat menikmati kebebasan semu; makan, minum, seks, riba, suap, syahwat dan seterusnya, padahal mereka masih berpijak dibumi-NYA.

Betapa menyedihkan orang yang grogi menghadapi kehidupan dan persoalan, padahal Ia yang memberinya titah untuk menuturkan pesan suci-NYA. Betapa bodohnya masinis yang telah mendapatkan peta perjalanan, kisah kawasan rawan, mesin kereta yang luar biasa tangguh dan rambu-rambu yang sempurna, lalu masih membawa keluar lokonya dari rel, untuk kemudian menangis-nangis lagi di stasiun berikutnya, meratapi kekeliruannya. Begitulah berulang seterusnya.

Semua ayat dari 183 – 187 surah Al Baqarah bicara secara tekstual tentang puasa. Hanya satu ayat yang tidak menyentuhnya secara tekstual, namun sulit mengeluarkannya dari inti hikmah puasa. “Dan apabila hamba-hambaku bertanya tentang Aku, maka katakanlah : sesungguhnya Aku ini dekat…( Al Baqarah : 185).

Apa yang terjadi pada manusia dengan dada hampa kekariban (kedekatan) ini? Mereka jadi pandai tampil dengan wajah tanpa dosa didepan publik, padahal beberapa menit sebelum atau sesudah tampilan ini mereka menjadi drakula dan vampir yang haus darah, bukan lagi menjadi nyamuk yang zuhud. Mereka menjadi lalat yang terjun langsung kebangkai-bangkai, menjadi babi rakus yang tak bermalu, atau kera, tukangtiru yang rakus.

Bagaimana mereka menyelesaikan masalah antar mereka? Bakar rumah, tebang pohon bermil-mil, hancurkan hutan demi kepentingan pribadi dan keluarga, tawuran antar warga atau anggota lembaga tinggi Negara, bisniskan hukum, atau jual bangsa kepada bangsa asing dan rentenir dunia. Berjuta pil pembunuh mengisi kekosongan hati ini. Berapa lagi bayi lahir tanpa berstatus bapak yang syar’i? Berapa lagi rakyat yang menjadi keledai tunggangan para politisi bandit? Berapa banyak lagi ayat-ayat dan pesan dibacakan sementara hati tetap membatu? Berapa banyak lagi kurban berjatuhan sementara sesama saudara saling tidak peduli?

Al Qur’an dulu baru yang lain

Bacalah Al-Qur’an, ruh yang menghidupkan, sinari pemahaman dengan sunnah dan perkaya wawasan dengan sirah, niscahya Islam itu terasa nikmat, harmoni, mudah, lapang dan serasi. Al-Qur’an membentuk frame berfikir. Al-Qur’an mainstream perjuangan. Nilai-nilainya menjadi tolak ukur keadilan, kewajaran, dan kesesuaian dengan karakter, fitrah dan watak manusia. Penguasaan outline-nya menghindarkan pandangan parsial juz’i. penda’wahannya dengan kelengkapan sunnah yang sederhana, menyentuh, aksiomatis, akan memudahkan orang memahami Islam, menjauhkan perselisihan dan menghemat energi umat.

Betapa da’wah Al-Qur’an dengan madrasah tahsin, tahfiz dan tafhimnya telah membangkitkan kembali semangat keislaman, bahkan dijantung tempat kelahirannya sendiri. Ahlinya selalu menjadi pelopor jihad digaris depan, jauh sejak awal sejarah ini bermula. Bila Rasullah meminta orang menurunkan jenazah dimintanya yang paling banyak penguasaan Qur’annya. Bila menyusun komposisi pasukan, diletakannya pasukan yang lebih banyak hafalannya. Bahkan dimasa awal sekali ‘unjuk rasa’ pertama digelar dengan pertanyaan “Siapa yang berani membacakan surat Arrahman di ka’bah?” Dan Ibnu Mas’ud tampil dengan berani dan tak menyesal atau jera walaupun pingsan dipukul musyrikin kota Makkah.

Nuzul Qur’an di Hira, Nuzul Qur’an di hati

Ketika pertama kali Al-Qur’an diturunkan, ia telah menjadi petunjuk untuk seluruh manusia. Ia menjadi petunjuk sesungguhnya bagi mereka yang menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Ia benar-benar berguna bagi kaum beriman dan menjadi kerugian bagi kaum yang zalim. Kelak saatnya orang menyalakan rambu-rambu, padahal tanpa rambu-rambu kehidupan jadi kacau. Ada juga orang berfikir malam qodar itu selesai sudah karena ALLAH menyatakan dengan anzalnahu ( kami telah menurunkannya) tanpa melihat tajam-tajam pada kata tanazzalu’l Malaikatu wa’l Ruhu (pada malam itu turun menurunlah para malaikat dan ruh), dengan kata kerja permanen.

Bila malam adalah malam, saat matahari terbenam, siapa warga negeri yang tak menemukan malam; kafirnya dan mukminnya, fasiqnya dan shalihnya, munafiqnya dan shiddiqnya. Yahudi dan nasraninya? Jadi apakah malam itu malam fisika yang meliput semua orang dikawasan?

Jadi ketika Ramadhan di gua Hira itu malamnya disebut malam qadar, saat turun sebuah pedoman hidup yang terbaca dan terjaga, maka betapa bahaginya setiap mukmin yang sadar dengan Nuzulnya Al-Qur’an dihati pada malam qadarnya masing-masing, saat jiwa menemukan jati dirinya yang selalu merindu dan mencari sang Pencipta. Yang tetap terbelenggu selama hayat dikandung badan, seperti badanpun tak dapat melampiaskan kesenangannya, karena selalu ada keterbatasan dalam setiap kesenangan. Batas makanan dan minuman yang lezat adalah keterbatasan perut dan segala yang lahir dari proses tersebut. Batas kesenangan libido ialah menghilangnya kegembiraan dipuncak kesenangan. Batas nikmatnya dunia ketika ajal tiba-tiba menemukan rambu-rambu: Stop!

Puasa: Da’wah, Tarbiyah, Jihad dan Disiplin

Orang yang tertempa makan (sahur) disaat enaknya orang tertidur lelap atau berdiri lama malam hari dalam shalat qiyam Ramadlan, setelah siangnya berlapar haus atau menahan semua pembantal lahir bathin, sudah sepantasnya mampu mengatasi masalah-masalah da’wah dan kehidupannya tanpa keluhan, keputusasaan atau kepanikan.

Musuh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan ditengah badai tak akan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air diakhir malam, lapar dan haus diterik siang.

Mereka biasa berburu dan menunggu target perjuangan, jauh sampai keakhirat negeri keabadian, dengan kekuatan yakin yang melebihi kepastian fajar menyingsing. Namun bagaimana mungkin bisa mengajar orang lain, orang yang tak mampu memahami ajarannya sendiri? “Fadiqu’s Syai’la Yu’thihi’ (yang tak punya apa-apa tak kan mampu memberi apa-apa).

Wahyu pertama turun dibulan Ramadlan, pertempuran dan mubadarah (inisiatif) awal di Badar juga di bulan Ramadlan dan Futuh (kemenangan) juga di bulan Ramadlan. Ini menjadi inspirasi betapa madrasah Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni unggulan yang izzah-nya membentang dari masyriq ke maghrib zaman.

Bila mulutmu bergetar dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits, mulut mereka juga menggetarkan kalimat yang sama. Adapun hati dan bukti, itu soal besar yang menunggu jawaban serius. ~KH. Rahmat Abdullah~

*)http://iqronews.wordpress.com/2011/07/28/renungan-ramadlan/