Jama'ah Penuh Berkah

Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqah antara qiyadah dan jundiyah menjadi penentu bagi sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan.

Bekerja Untuk Indonesia

Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (9:105)

Inilah Jalan Kami

Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik. (12:108)

Biduk Kebersamaan

Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.

Kesungguhan Membangun Peradaban

Semua kesungguhan akan menjumpai hasilnya. Ini bukan kata mutiara, namun itulah kenyataannya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan.

Minggu, 29 Januari 2012

Para Pengurus IKADI Periode 2012 - 2016

Pelantikan Pengurus PW & PD IKADI Se-Kepulauan Riau 

Selamat kepada para pengurus IKADI  priode 2012 -2016. Semoga dengan kepengurusan IKADI yang baru ini semakin mewarnai nuansa dakwah di Kepulauan Riau dan menjadikan Islam makin berkembang dan jaya di negeri ini. Allahu Akbar!!!!!!!!!

Mengajak Bukan Memvonis

Mengajak Bukan Memvonis
Jumat, 27 Januari 2012
Oleh Ust. Farid Nu’man

Mukadimah

Ada seorang bertanya kepada ulama, “Adakah sihir yang dibolehkan?”, jawab ulama itu, “ Ada , yaitu senyummu kepada saudaramu.”

Diriwayatkan tentang Imam Sufyan ats Tsauri, bahwa dia amat sering menangis di tengah malam dalam sujud panjangnya dan dikegelapan kamarnya. Namun ia amat murah senyum di siang harinya ketika berinteraksi dengan manusia. Hatinya lembut kepada manusia, sehingga mereka mencintainya, mendengarkan petuahnya, dan menunggu nasihatnya. Itulah balasan yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan untuknya, lantaran sikapnya yang mempesona di mata manusia.

Imam Aun menceritakan tentang gurunya, yaitu Imam Muhammad bin Sirrin radhiallahu ‘anhu, bahwa ia adalah orang yang amat keras dan ketat terhadap dirinya sendiri, namun begitu fleksibel dan banyak memberikan kemudahan kepada orang lain. Begitu pula Imam Muzani (murid Imam Syafi’i), ia disifati manusia sebagai, “Seorang yang sangat mempersempit dirinya sendiri dalam kewara’an, sedangkan terhadap orang lain ia memberikan kelonggaran yang seluas-luasnya.”

Imam Sufyan ats Tsauri pernah berkata –sebagaimana yang dikutip Imam an Nawawi dalam Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, “Sesungguhnya fiqih itu adalah keringanan yang datang dari orang yang dapat dipercaya, sedangkan berlaku keras dan menyulitkan itu dapat saja dengan mudah dilakukan setiap orang.”

Imam Hasan al Bashri berkata, “Sesungguhnya sejelek-jeleknya hamba Allah adalah yang mendatangkan persoalan-persoalan yang buruk, dan dia menyusahkan hamba Allah yang lain dengan hal itu.”

Imam al Auza’i berkata, “Jika Allah hendak mencegah hambaNya dari berkah ilmu, ia memberikan persoalan-persoalan ruwet di mulut orang itu.”

Imam Atha’ berkata, “Jika kalian dihadapkan pada dua perkara, bawalah kaum muslimin kepada yang lebih mudah di antara keduanya.”

Imam Asy Sya’bi berkata, “Sesungguhnya seseorang diberi dua pilihan, lalu dia memilih yang paling mudah di antara keduanya, dia akan disenangi Allah.”

Demikianlah para salafus shalih. Mereka begitu menghargai kemanusiaannya manusia, mengetahui sisi kejiwaan para mad’u, dan terlebih dari itu, mereka amat piawai dalam menerapkan dan menempatkan syariat ini sebagaimana mestinya. Amat berbeda dengan manusia (baca: sebagian para da’i) sekarang, lebih banyak menyulitkan dibanding memberikan kemudahan, mengancam dibanding kabar gembira, menyempitkan dibanding toleransi, melarang-larang dibanding memberikan alternatif, menuduh dibanding berbaik sangka, memvonis dan menghakimi dibanding mengajak dengan lembut. Memanggilnya dengan panggilan yang mengerikan seperti mubtadi’ kabir (gembongnya pelaku bid’ah), mudhill (orang yang sesat), dan lain-lain, dibanding mendoakannya seperti hadanallahu wa iyyah (semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dan dia) atau saddaddallahu khuthahu (semoga Allah meluruskan langkahnya). Mereka mencaci memaki kegelapan, dibanding menyalakan lilin.

Menguasai Hati Orang Lain

Objek da’wah, walau ia ahli maksiat dan pelaku kesesatan, adalah manusia yang memiliki hati sebagaimana lainnya. Hati adalah pintu pertama kegoncangan jiwa, sebagaimana menjadi pintu pertama terhadap petunjuk. Ia bisa berontak jika ditusuk, melawan jika disakiti, dan menjauh jika dikeraskan. Maka jagalah perasaan manusia, rebutlah hati mereka dengan lembutnya seruan, hikmahnya lisan, dan santunnya akhlak. Anda tidak bisa menguasai orang lain kecuali dengan senyuman, tutur kata yang sopan, kedermawanan, dan keteladanan. Berikan mereka harta yang banyak, namun dengan cara melempar, kasar dan di ungkit-ungkit, maka ia akan menolak harta tersebut walau amat membutuhkannya. Sekalipun menerima, ia amat terpaksa dan menerima dengan air mata dan hati yang perih.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya kalian tidak mampu menguasai manusia dengan harta kalian, namun mereka dapat dikuasai dengan manisnya wajah dan akhlak yang baik.” (HR. Abu Ya’la, Imam Hakim menshahihkannya. Bulughul Maram, Bab At Targhib min Musawi al Akhlaq. no. 1341)

Tidak sedikit mad’u yang lari meninggalkan da’i lantaran luka dihati, kekecewaan, dan kesempitan yang ditawarkan kepada mereka. Sehingga pertemuan dengan da’I bukan suatu yang dirindukan, namun bagaikan pertemuan dengan jaksa penuntut umum yang siap memberikannya tuntutan dan sanksi, atau reserse yang siap menginterogasi dan membawanya ke penjara, atau guru killer yang siap memberinya setumpuk Pekerjaan Rumah. Tidak demikian wahai ikhwah, jangan begitu wahai da’i ….. Apakah kita mau da’wah ini justru menjadi fitnah menyeramkan bagi mereka lantaran kegarangan para du’at?

Mengikuti Uslub (metode) Al Qur’an

Al Qur’an hendaknya menjadi pedoman utama para da’i. Uslub tarbiyah dan da’wahnya amat indah dan mempesona, dan memberika keberuntungan yang amat besar bagi da’wah. Al Qur’an mengajarkan kita kelembutan dan menjauhi kekasaran dalam menghadapi manusia, agar ia mau mendekat, menerima seruan, dan mengikuti ajakan. Simaklah.

Allah Jalla wa ‘ Ala berfirman:
“Oleh karena rahmat dari Allah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Jadi, maafkanlah mereka dan memohonkan ampun bagi mereka.” (QS. Ali Imran: 154)

FirmanNya yang lain:
“Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Al Fushilat: 34-35)

Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimassalam untuk menggunakan kata-kata yang lembut (Qaulan layyinan) ketika menda’wahi manusia paling zalim, Fir’aun, sebagaimana yang dikisahkan dalam surat Thaha ayat 44.

Selain itu, Al Qur’an yang ada ditangan kita telah mengajarkan, jika ia mengharamkan sesuatu pastilah diberikan alternatifnya. Al Qur’an telah mengharamkan riba dengan pasti, tetapi ia menghalalkan jual beli. Al Qur’an telah mengharamkan zina dan menilainya sebagai perbuatan amat keji, tetapi ia menghalalkan pernikahan, Al Qur’an melarang dengan tegas membunuh manusia dengan cara tidak haq, tetapi ia memerintahkan jihad dan mengagungkannya. Demikianlah Al Qur’an, tidaklah ia melarang sesuatu dan mencelanya melainkan ia juga memberikan alternatif dan solusinya. Ambillah ini sebagai pelajaran.

Tidak dibenarkan da’i melarang-larang manusia dari ini dan itu, tetapi ia tidak mendorongnya kepada hal yang lebih baik dan selamat, yang tentunya tidak bertentangan dengan syariat. Tidak dibenarkan ia melarang-larang anak-anak band dari hobinya itu, tanpa memberikan alternatif hiburan yang dibenarkan syariat. Tidak benarkan da’i mencaci maki para peminat media jahiliyah, tanpa menyodorkan media Islami. Tidak dibenarkan pula menuding film atau sinetron murahan dan picisan, tanpa memberikan gantinya yang lebih baik.


Mengikuti Uslub Rasulullah

Petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah sebaik-baiknya petunjuk. Bahkan jika manusia dalam kondisi fatrah (baca: futur) namun tetap di atas sunnahnya, beliau katakan ‘faqadihtada’ ( ia telah di atas petunjuk). Maka wajib bagi para da’i mengikuti jejaknya yang mulia, dan meneladani uslub da’wahnya yang bersinar.

Terhadap kaum yang menolak da’wahnya, ia berkata, “Allahummaghfirli qaumi fainnahum laa ya’lamun” (Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui).

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah itu lembut, menyukai kelembutan dalam segara urusan.” (HR. Muttafaq ‘Alaih. Riadhusshalihin. no. 631)

Dari ‘Aisyah pula, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah menjadikan sesuatu kecuali menambah indah, dan tidaklah dicabut dari sesuatu (kelembutan itu) kecuali menambah kejelekan.” (HR. Muslim. Ibid. no. 633)

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Siapa yang diharamkan dari sifat lembut, maka telah diharamkan dari semua kebaikan.” (HR. Muslim. Ibid. no. 636)

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; “Sesungguhnya kalian tidak mampu menguasai manusia dengan harta kalian, tetapi mereka dapat dikuasai dengan manisnya wajah dan akhlak yang baik.” (HR. Abu Ya’la, Imam Hakim menshahihkannya. Bulughul Maram, bab. At Targhib min Musawi al Akhlaq. No. 1341)

Rasulullah pernah ditimpuki batu di Thaif ketika berda’wah kepada Bani Tsaqif, namun begitu beliau tetap tabah dapat mampu menahan diri, tidak emosional untuk membalas. Bahkan ketika malaikat penjaga gunung berkata kepadanya, “Apakah engkau meminta kepadaku agar membalikkan bumi tempat mereka tinggal ini?” Nabi menjawab, “Tidak, aku hanya memohon kepada Allah agar dari tulang sulbi mereka nanti akan lahir generasi yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukanNya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Bukhari meriwayatkan, pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ada seorang pemuda yang menjadi ‘pelanggan’ hukuman hudud lantaran hobinya meminum khamr. Acapkali orang ini diserahkan kepada nabi, beliau melaksanakan hudud atasnya.

Sebagian sahabat ada yang berkata, “Semoga Allah merendahkannya, selalu saja dia dilaporkan kepada Nabi karena kasus khamr.”

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam marah seraya berkata, “Jangan berkata demikian, jangan menolong syetan lebih mudah memperdayakannya. Demi Zat yang jiwaku ada di tanganNya, aku tidak mengetahui dari orang ini kecuali bahwa dia mencintai Allah dan RasulNya.” (HR. Bukhari dari Umar radhiallahu ‘anhu dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Alangkah indahnya Rasulullah mendidik dan menyeru umatnya. Maka janganlah kita membuat manusia berputus asa dari rahmat Allah ‘Azza wa Jalla, walau sebesar apapun kesalahan dan dosa yang dilakukan. Hendaknya kita tetap menganggap mereka sebagai umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka memiliki potensi untuk berubah dan kembali kepada jalan yang benar. Bukankah dahulu kita pernah mengalami masa-masa jahiliyah sebagaimana mereka, atau mungkin kejahiliyahan yang melebihi mereka? Betapa sabar para pembimbing (murabbi) dan ustadz terhadap diri kta. Maka, jangan buat umat lari dari ampunan Allah Ta’ala yang teramat luas.

Mengikuti Uslub Para Sahabat

Para sahabat adalah bintang-bintang di antara manusia. Bintang, keberadaannya membuat indah langit di malam hari, begitu pula para sahabat Nabi di tengah-tengah umat. Adakah manusia yang membenci bintang? Petuah-petuah mereka adalah petunjuk yang lahir dari madrasah nabawiyah.

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Orang-orang yang benar-benar faqih itu adalah orang yang tidak membuat manusia berputus asa dari rahmat Allah, namun tidak juga memberi keringanan kepada mereka untuk melakukan maksiat kepada Allah.” (diriwayatkan oleh Imam Ad Darimi secara mauquf, secara marfu’-nya terdapat dalam Jami’ al Ahadits wal Marasil)

Umar bin al Khathab radhiallahu ‘anhu berkata, “Ada tiga hal yang bisa membuat saudaramu mencintaimu, yaitu: memanggilnya dengan nama yang paling dia sukai, melapangkan tempat duduk baginya dalam suatu majelis, dan memulai ucapan salam.”

Ikhwah …. tidak sedikit para da’i yang memboikot manusia lantaran maksiat kecil yang dibuatnya. Ia tidak menyapanya, apalagi salam, tidak mau duduk satu majelis dengannya, tidak memanggilnya dengan panggilan kesukaannya. Justru di belakang ia menggunjingnya dengan mengatakan, ia jahil, ahlul hawa, ahlul ma’shiyah, dan lainnya. Tentu ini bertantangan dengan sunah Umar radhiallahu ‘anhu, dan akan membuat manusia semakin menjauhinya.


Mengikuti Uslub Para Ulama Rabbani

Imam Abdullah bin Mubarak pernah membuat syair:

Pada saat engkau bergaul dengan masyarakat yang penuh cinta kasih
Bersikaplah kepada mereka seolah-olah engkau saudara mereka
Jangan mencela setiap kekurangan kaum,
Atau engkau tidak akan pernah memiliki teman

Menjelang wafatnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dihadapkan ke kiblat dan berkata, “Aku bertobat dari perbuatanku yang mengkafirkan ahli kiblat (muslim).” Dia mengulanginya dua kali. Syaikh Aidh al Qarny berkata, “Ibnu Taimiyah adalah ulama yang sangat jarang mentakfir-kan orang walau ia sangat keras terhadap ahli bid’ah. Namun saat ini orang sangat gampang mentakfirkan karena dangkalnya ilmu fiqih mereka.“

Takfir memang ada dalam konsep Ahlus Sunnah, namun hanya boleh dilakukan jika syarat-syaratnya (dhawabith) terpenuhi, itu pun hanya dilakukan oleh ulama mumpuni atau sekelompok ulama yang melakukan ijtihad kolektif.

Imam Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in-nya menyebutkan bahwa Imam Ahmad jika ditanya tentang masalah yang diharamkan dia berkata, “Aku tidak suka ini, aku takut ini diharamkan.”
Begitu pula ulama lainnya. Mereka lebih suka mengatakan ghairu masyru’ (tidak disyariatkan), lebih baik jangan, aku benci ini, mungkin engkau lupa. Dibanding mengatakan ini haram, sesat, kafir, Allah tidak menyelamatkanmu, kembalinya ke neraka, engkau pendusta, dan vonis menyeramkan lainnya. Namun demikian, mereka juga tidak segan akan mengatakan hal yang demikian itu jika permasalahannya jelas dan tidak samar keharamannya, kesesatannya, dan kekafirannya.

Dari Ibnul Junaid, dia berkata, bahwa Imam Yahya bin Ma’in mengatakan, “Pengharaman air anggur (nabidz) itu adalah shahih. Akan tetapi aku tidak mau berkomentar dan aku tidak mengharamkannya. Karena ada orang-orang shalih yang meminumnya dengan dalil hadits-hadits yang shahih. Dan ada orang shalih lainnya yang mengharamkannya, juga dengan hadits-hadits shahih.” (Siyar 11/87-88)

Imam Ahmad pernah ditanya tentang orang yang shalat sunah setelah ashar, ia menjawab, “Kami tidak melakukannya, namun kami tidak akan mencela orang yang melakukannya.”

‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah mengomentari ucapan Ibnu Umar yang melarang manusia menangisi mayit anggota keluarganya. Katanya, “Mudah-mudahan Allah mengampuni Ibnu Umar. Aku yakin ia tidak berdusta, tetapi dia lupa atau salah.” (HR. Malik dalam Muwatha’ Bab Al Janazah)

Demikianlah, manusia yang ilmunya luas akan mampu menahan lisan kotor dan kasar dalam mengomentari kesalahan manusia. Ada manusia yang amat keras terhadap saudaranya yang minum sambil berdiri, padahal manusia berselisih paham tentangnya. Ada yang menyebutnya makruh tahrim (makruh yang mendekati haram) seperti Syaikh al Albany dan Imam Ibnu Hazm, lantaran ada riwayat dari Anas bin Malik yang melarang minum sambil berdiri, katanya, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang manusia minum sambil berdiri.” Qatadah bertanya: “Kalau makan bagaimana?” Dijawab, “Kalau makan berdiri itu lebih busuk dan jahat.” (HR. Muslim)
Adapun jika terlanjur minum sambil berdiri hendaknya memuntahkannya. (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Namun ada pula yang menyebutnya mubah (boleh). Sebab dari Ibnu Umar ia berkata, “Dahulu kita di masa Rasulullah, adakalanya makan sambil berjalan, dan kita minum dengan berdiri.” (HR. At Tirmidzi, ia menshahihkannya) Amir bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, berkata: “Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum sambil berdiri dan juga pernah melihatnya minum sambil duduk.” (HR. Tirmidzi). atau Imam Malik meriwayatkan bahwa Umar, Utsman, dan Ali pernah minum dengan berdiri. Ada pula yang mengatakan semuanya bisa benar, tergantung kondisi. Sedangkan Imam an Nawawi dalam kitabnya yang terkenal Riyadhushshalihin menulis Bab Bolehnya minum sambil berdiri, namun lebih sempurna (akmal) dan utama (afdhal) sambil duduk. (Lihat Riyadhusshalihin. Hal. 220. Maktabatul Iman – Al Manshurah. Tahqiq oleh Muhammad ‘Ishamuddin Amin)

Ada pula manusia yang keras dan melotot tajam terhadap saudaranya yang kencing sambil berdiri Abu Wail menceritakan bahwa Abu Musa al Asy’ary pernah bersikap keras dalam hal kencing berdiri. Dia berkata, “Sesungguhnya Bani Israel itu, apabila ada kencing yang mengenai baju mereka, maka mereka mengguntingnya.” Maka Hudzaifah berkata, “Sebaiknya engkau tidak berkata demikian, karena Rasulullah pernah datang ke sebuah kandang milik suatu kaum, dan beliau kencing sambil berdiri.” (HR. Bukhari dan Abu Daud)

Ucapan Hudzaifah,” Sebaiknya engkau tidak berkata demikian..”, ketika mengomentari ucapan Abu Musa mencerminkan bahwa Abu Musa telah berlebihan dalam menyikapi sesuatu yang dianggapnya salah, dan ternyata justru Rasulullah pernah melakukannya.

Sikap Imam Adz Dzahabi yang Amat Elegan dan Objektif

Imam Adz Dzahabi rahimahullah adalah salah satu murid Imam Ibnu Taimiyah. Ia amat piawai dalam ilmu hadits dan sirah. Hati manusia menjadi tenang, ketika membaca hadits riwayat Imam Hakim lalu setelah itu tercantum ‘Wafaqahu Adz Dzahabi” (Telah disepakati Adz Dzahabi) yaitu keshahihannya, lantaran Imam Hakim termasuk yang mutasahil (menggampangkan) dalam menshahihkan hadits, karena itulah Imam Adz Dzahabi merasa perlu untuk meninjau kembali.

Ia memiliki karya yang amat brilian dan monumental yakni Siyar A’lamin Nubala, karya yang berisi tentang biografi tokoh ulama, khalifah, satrawan, serta peristiwa-peristiwa yang melingkupinya. Sengaja kami kutipkan komentar-komentarnya yang objektif, khususnya komentarnya tentang kekeliruan yang dilakukan manusia dan tokoh ternama, sebab di dalamnya terdapat pelajaran yang amat berharga bagi orang yang menghargai ilmu, mencintai ulama, objektifitas dan menjunjung akhlak Islam. Berikut akan kami uraikan beberapa contoh dan simak baik-baik.

A. Sikap Imam Adz Dzahabi terhadap seorang ahli hadits terkenal, Imam Ibnu Hibban, yang pernah mengucapkan ucapan berbahaya, “Kenabian adalah ilmu dan amal.” Mendengar itu manusia menuduhnya zindik, karena ucapan seperti itu pernah diucapkan seorang filosof bahwa kenabian itu bisa diusahakan dengan ilmu dan amal, bukan karena pilihan Allah. Lalu manusia mengadukannya kepada khalifah, maka khalifah membuat keputusan untuk membunuhnya. Bagaimana komentar Imam Adz Dzahabi?

Ia berkata dalam Siyar A’lamin Nubala (16/92-104), “Ibnu Hibban merupakan salah seorang ulama besar. Namun demikian, kita tidak menilainya terpelihara dari kesalahan. Apa yang diucapkannya itu dapat saja dilakukan oleh seorang muslim atau oleh filosof zindik. Seorang muslim tentu tidak diperkenankan bicara demikian.. namun bila terlanjur, maka ia diamaafkan.”

Kemudian Adz Dzahabi menjelaskan bahwa Ibnu Hibban sebenarnya tidak bermaksud membatasi kenabian sebatas ilmu dan amal saja. Beliau hanya ingin menjelaskan bahwa keduanya merupakan sifat paling sempurna bagi seorang nabi. Adapun ucapan filosof, “Kenabian itu bisa diusahakan sebagai hasil dari ilmu pengetahuan dan amal.” Maka ucapan inilah yang disebut kekafiran, dan ini bukan sama sekali yang dimaksud Imam Abu Hatim Ibnu hibban. Tidak mungkin ia bermaksud seperti itu.”

Ikhwah … lihatlah komentar ini, begitu indah dan santun, tanpa mengurangi nilai kritiknya. Apa jadinya seandainya bukan Imam Adz Dzahabi yang memberikan komentar? Niscaya Imam Ibnu Hibban akan dituduh sebagai zindik, kafir, dan lain-lain.

B. Sikap Adz Dzahabi tentang Al Aswad bin Yazid yang telah melakukan puasa sepanjang tahun (shaum ad dahr). Padahal shaum ad dahr itu terlarang dalam syariat Islam. Imam Adz Dzahabi membenarkan kabar tersebut. Lalu ia mengomentari: “Sepertinya, larangan tentang shaum ad dahr belum sampai ke telinga Ibnu Yazid, atau ia bertakwil di dalamnya.” (Siyar 4/50-53). Seperti itulah Adz Dzahabi, ia mencarikan dalih bagi Al Aswad bin Yazid dengan mengatakan bahwa kemungkinan Al Aswad belum mendengar hadits yang melarangnya, atau sudah mendengar tetapi ia tidak memahami adanya keharaman di dalamnya.

C. Sikap Adz Dzahabi terhadap Ulama hadits, Salah seorang Imam Jarh wa Ta’dil, yakni Imam Yahya bin Ma’in. beliau adalah kawan dari Imam Ahmad bin Hambal. Dikutip dari Al Hushain bin Fahm, bahwa Yahya bin Ma’in pernah berkata: “Dulu aku pernah berada di Mesir, lalu akau lihat seorang budak wanita dijual dengan harga seribu dinar. Aku belum pernah melihat wanita secantik dia, semoga Allah memberinya keselamatan.” Lalu aku (Al Hushain ) berkata: “Wahai Abu Zakaria, orang sepertimu berbicara seperti itu? Beliau berkata: “Ya, semoga Allah memberinya keselamatan dan juga pada setiap orang yang cantik.”

Ikhwah …. Apa komentar Imam Adz Dzahabi? Ia berkata, “Cerita ini dapat diterima sebagai sebuah lelucon (gurauan) belaka dari Abu Zakaria (Yahya bin Ma’in).” Demikianlah, menurut Imam Adz Dzahabi itu hanyalah lelucannya Imam Yahya bin Ma’in. ia tidak benar-benar bermaksud mengatakan demikian terhadap wanita dalam keadaan serius. Jika bukan Adz dzahabi yang mengomentari, mungkin Imam Yahya bin Ma’in akan dituduh fasiq. Koq, ulama memuji-muji kecantikan wanita.

D. Sikap Adz Dzahabi terhadap Jarh (celaan) Imam Al Qadhy Abu Bakar bin al Araby al Maliki terhadap Imam Abu Muhammad bin Hazm azh Zhahiry dengan celaan yang amat merendahkan. Di dalam kitabnya, Al Qawashim wal Awashim, Ibnul Araby menyebut Ibnu Hazm sebagai orang tolol dari isybiliyah (sevila sekarang, Spanyol), tidak mengerti mazhab-mazhab, sesat dan ahli bid’ah. Nah, bagaimana komentar Imam Adz Dzahabi terhadap celaan Imam Ibnul ‘Araby ini?

Ia berkata, “Al Qadhy Abu Bakar rahimahullah kurang bersikap adil dalam menilai guru dari ayahnya (maksudnya Ibnu Hazm). Beliau juga tidak fair dalam membicarakannya, dan terlalu merendahkan. Padahal Al Qadhy Abu Bakar, walau kedudukannya tinggi dalam ilmu pengetahuan, ia belum mencapai derajat Abu Muhammad (Ibnu hazm), dan masih terlalu jauh. Semoga saja, Allah memberikan maghfirah kepada keduanya.”

Imam Izzuddin bin Abdussalam berkata, “Aku tidak pernah mendapatkan kitab-kitab Islam mengenai keilmuan yang lebih bagus daripada kitab Al Muhalla karya Ibnu Hazm dan Al Mughni karya Syaikh Muwafaqqud Din (Ibnu Qudamah).” Adz Dzahabi berkata, “Syaikh Izzuddin telah berkata benar. Kitab ketiga adalah As Sunan Al Kubra karya Al Baihaqi. Keempat , At Tamhid, karya Ibnu Abdul Barr. Maka siapa saja yang memperoleh karya-karya tersebut, dan ia seorang yang cerdas dan telah melakukan kajian mendalam terhadap kitab-kitab tersebut, maka dialah ulama yang sebenarnya.” (Siyar 18/188-192)

Ikhwah fillah …, sebenarnya masih banyak lagi keindahan akhlak Imam Adz Dzahabi dalam memberikan penilaian objektif terhadap orang dan tokoh yang keliru, seperti sikapnya yang adil terhadap Imam al Ghazaly antara yang merendahkannya dan mengkultuskannya, atau sikapnya yang adil terhadap Imam Waki’ (gurunya Imam Syafi’i) yang juga melakukan puasa dahr dan meminum air anggur.

Demikianlah seorang da’i, seharusnya mengajak manusia yang keliru menuju kearah kebaikan, serta memperhatikan kedudukan orang tersebut di hati masyarakat, agar bisa menyikapinya secara bijak dan bajik. Bukan menghakimi dan merendahkan kedudukannya di mata manusia, yang justru melahirkan perlawanan keras dan penyimpangan yang lebih jauh.

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah


*)http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/42



*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia

Impian Hari ini adalah Kenyataan Hari Esok

Jumat, 04 Februari 2011

Saudaraku,
Janganlah engkau putus asa, karena putus asa bukanlah akhlak seorang muslim. Ketahuilah bahwa kenyataan hari ini adalah mimpi hari kemarin, dan impian hari ini adalah kenyataan di hari esok. Waktu masih panjang dan hasrat akan terwujudnya kedamaian masih tertanam dalam jiwa masyarakat kita, meski fenomena-fenomena kerusakan dan kemaksiatan menghantui mereka. Yang lemah tidak akan lemah sepanjang hidupnya dan yang kuat tidak akan selamanya kuat.

Allah swt. berfirman,
"Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman serta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu." (Al-Qashash: 5-6)

Putaran waktu akan memperlihatkan kepada kita peristiwa-peristiwa yang mengejutkan dan memberikan peluang kepada kita untuk berbuat. Dunia akan melihat bahwa dakwah kita adalah hidayah, kemenangan, dan kedamaian, yang dapat menyembuhkan umat dari rasa sakit yang tengah dideritanya. Setelah itu tibalah giliran kita untuk memimpin dunia, karena bumi tetap akan berputar dan kejayaan itu akan kembali kepada kita. Hanya Allah-lah harapan kita satu-satunya.

Bersiap dan berbuatlah, jangan menunggu datangnya esok hari, karena bisa jadi engkau tidak bisa berbuat apa-apa di esok hari.

Kita memang harus menunggu putaran waktu itu, tetapi kita tidak boleh berhenti. Kita harus terus berbuat dan terus melangkah, karena kita memang tidak mengenal kata "berhenti" dalam berjihad.

Allah swt. berfirman,
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, sungguh akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami. "(Al-Ankabut: 69)

Hanya Allah-lah Dzat yang Maha Agung, bagi-Nya segala puji.

(Hasan Al-Banna)

*posted by: pkspiyungan.blogspot.com

Jumat, 27 Januari 2012

Bukan Urusan Kita; Cerita Tentang Palestina


25/1/2012 | 01 Rabiul Awwal 1433 H | Hits: 623
Oleh: sandylegia
Kirim Print
Ilustrasi (knrp)
dakwatuna.com - Diriwayatkan dari Abu Laila bahwasanya ketika Qais bin Saad dan Sahl bin Hunaif berada di Qadisiyyah, lewatlah iring-iringan jenazah, kemudian keduanya berdiri. Tiba-tiba ada yang berkata “Jenazah itu bukan muslim!” Keduanya berkata “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah dilewati iringan jenazah, kemudian ada yang berkata “Itu jenazah seorang Yahudi!”. Maka kemudian beliau berkata “Bukankah dia juga berjiwa? (manusia)”. [HR. Bukhari, kitab janaiz, bab al qiyam lil janazah -1250]
Siang yang membakar di kamp pengungsian, seorang anak bertanya kepada ibunya “Bu, kenapa kita tidak pernah menang, dan kenapa mereka begitu kejam?” Lagi-lagi jawaban sang ibu sama. “Sabar!”
Tiba-tiba terdengar suara ledakan. Para pengungsi tersentak, sesaat kemudian mereka kembali kepada aktivitasnya masing-masing.
Sekumpulan pemuda di kejauhan sana berlarian menggotong seonggok jasad yang tak bernyawa. Dari tempat yang sama, seorang pemuda terseok-seok jalannya akibat peluru yang bersarang di kaki kanannya.
Di kamp, sang anak menatapi kembali ibunya. Tak ada yang nampak dari wajahnya kecuali raut-raut kesabaran walaupun di luar sana tuduhan teroris bersahutan.
Sang ibu menyodorkan dua buah isy, “Ayo makan dulu, Nak!” tapi ia melamunkan kawan-kawannya. Setahun lalu teman-teman akrabnya dibantai di depan mata kepalanya sendiri. Beberapa hari lidahnya kelu seperti orang mati, shock. Bagaimana tidak? Pembunuhan itu dilakukan dengan tidak berperikehewanan sekalipun.
Apa yang kamu lakukan, Ahmad? Ayo cepat makan!” suara berat itu membuyarkan lamunan Ahmad sang anak. Ahmad tersentak dan segera mengambil jatah isy nya. “Ayah, kenapa kita tidak pernah menang, dan kenapa mereka begitu kejam?” tanya Ahmad sambil mengunyah isy.
Sang ayah terdiam sesaat kemudian berkata “Karena kita bodoh dan mereka sesat”. Ahmad mencoba meraba-raba maksud jawaban. “Sudah lah saat dewasa nanti kamu pasti paham, karena hanya orang dewasa yang paham kata-kata ini, teruskan makanmu dan antar ini ke tenda paman Ali” kata ayah sambil menyodorkan sekeresek buah kukh. “Yup...” jawab Ahmad singkat.
Jalanan lengang, langit bergaun biru keunguan. Ahmad berjalan di antara tenda-tenda pengungsian. Sesekali matanya menoleh ke samping kiri dan kanan sekedar mencari tahu apa yang dilakukan orang-orang di dalam tendanya masing-masing. Sang ibu mengipasi anaknya, kakek tua tidur begitu pulas, bocah tiga tahun merengek, remaja mengerang kesakitan entah kenapa, beberapa pemuda berkumpul membaca Al-Quran, gadis kecil menangis sendirian, itu lah pemandangan biasa yang hampir setiap hari terlihat.
Allahu akbar… Allahu akbar...” adzan bergema dari kejauhan. Ahmad berhenti sejenak mencari sekumpulan orang yang hendak mendirikan shalat. Tikar dihampar di tengah-tengah puing-puing reruntuhan “Sama kan shaf kalian!” kata imam.
Usai shalat Ahmad bergegas kembali melanjutkan perjalanannya. “Ahmad!!!” tiba-tiba seorang pemuda memanggilnya. “Kak Ayash?” Ahmad terkejut. “Ahmad, ini hampir malam, mau ke mana kamu?”, “Ayah menyuruhku untuk mengantarkan ini ke paman Ali”. “Kamu tidak boleh berjalan sendiri, Ahmad! Kakak akan temani kamu!” Ahmad tersenyum.
Pemuda itu berdiri di samping Ahmad sambil menggenggam sebuah batu. Dari arah berlawanan tiga orang menghampiri Ayash. Ayash merapatkan halisnya coba menerka siapa orang-orang dibalik sorban itu.
Assalamu..” belum sempat membereskan salamnya tiba-tiba Ayash tak bergerak merasakan sesuatu yang menusuk perutnya, dua orang bertutup wajah lainnya menjatuhkan tubuh Ayash, memegang kedua tangannya erat-erat, kemudian seorang di antara mereka mengeluarkan pisau, entah apa yang akan mereka lakukan terhadapnya.
Ahmad berlari sejadi-jadinya, sambil sesekali menoleh ke belakang. “Mereka bukan Mujahid” hatinya berkata. “Siapa mereka?” hatinya bertanya lagi.
Ahmad terlalu muda untuk mengetahui trik murahan itu. Bumi yang ia pijak sudah lama tahu bahwa “Manusia terlaknat” punya trik penyamaran baru. Supaya bisa menerobos kamp pengungsian dan menggorok serta memutilasi siapa saja yang mereka temukan. Tujuannya satu, intimidasi agar kecoa-kecoa itu minggat dari the promise land, pembenaran berkedok agama, atau lebih tepat, berkedok ajaran sesat.
Ahmad masih berlari tapi kemudian berhenti, tangan besar itu menangkapnya dan membawanya pergi entah ke mana. Kukh berjatuhan tercecer di mana-mana. Ahmad mencoba berontak dengan berteriak, tapi laki-laki berkalung bintang david itu menyumpal mulutnya dengan batu sambil meneruskan siulannya.
Dua malam kemudian…
Khansa masih belum kering air matanya, Rashid suaminya hanya terkapar tak mampu berbuat apa-apa setelah tertembak pada penyerangan kemarin malam.
Ahmad adalah anak satu-satunya yang tersisa. Tiga anak lainnya tewas pada penyerangan tiga tahun yang lalu, tapi kini ia harus merelakan juga kepergian anak terakhirnya. Dua malam tak kembali adalah tanda bahwa Ahmad telah tiada untuk selamanya.
Khansa menghapus air matanya sambil menyingkap tirai tenda. Matanya menatap langit yang terang, bukan oleh bulan, tapi oleh bom curah. Pemuda-pemuda berlarian, terkapar, kering dan menjadi abu.
Desingan peluru kemudian menyusul. Khansa berdiri keluar tenda, menyelipkan diri di tengah pemuda-pemuda yang melempar batu. Rashid memanjangkan tangannya memberi isyarat kepada Khansa agar jangan keluar, tapi Khansa tak melihatnya.
Bom curah itu menyiram rata kumpulan pemuda pelempar batu. Tak ada yang tersisa, melepuh semuanya. Rashid hanya bisa meneteskan air mata melihat istrinya mengering perlahan-lahan menjadi abu.
Di belahan bumi lain di Indonesia, dua orang pemuda tengah sengit berdebat, yang satu cengengesan sedang yang lain bermuka masam.
Sudahlah, mereka bukan urusan kita, jauh-jauh mikirin Palestina, negeri kita saja masih morat-marit gak jelas, gelandangan dimana-mana, fakir miskin semakin menjamur….” Kata si cengengesan.
Si muka masam terdiam sesaat sembari menghela nafas, kemudian berkata “Bagaimana perasaanmu, jika Palestina menjadi seperti Indonesia dan Indonesia menjadi seperti Palestina, kemudian orang Palestina mengatakan seperti yang kamu katakan barusan?”
Yaa… itu hak mereka, mau menolong atau atau tidak, bukan urusan kita, tugas kita adalah berjuang untuk merdeka” jawab si cengengesan enteng.
Di Palestina….
Tak lama setelah meneteskan air mata rudal apache menyudahi kepedihan Rashid. Tendanya porak-poranda seperti tubuhnya yang terkoyak.
Di Indonesia….
Dua pemuda itu berpisah setelah mengakhiri debatnya. Si cengengesan masih dengan cengengesannya, tapi kali ini dengan sedikit membusungkan dada, lega karena berhasil mematahkan argument lawannya.
Tamat…
Resapi kembali ajaran tentang persaudaraan, saudara seiman, dan saudara se kemanusiaan! Jangan bodoh dan jangan sesat!


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/01/18239/bukan-urusan-kita-cerita-tentang-palestina/#ixzz1kfe5DLuf

Rabu, 25 Januari 2012

"Kader Kader Pilihan" Insya Allah

Semangat bergaya sebelum go adventure to the junggle

Semangat juang dalam gaya

wajah lesu tak berarti semangat ikut lesu
Tetap semangat dan ceria untuk menjadi yang terbaik

Bergaya manis dengan hati yang optimis 

Minggu, 22 Januari 2012

Keluarga Bahagia Bukanlah Keluarga Tanpa Masalah



Sesungguhnya, keluarga tanpa masalah tidak pernah benar-benar ada. Suami istri bukanlah pasangan malaikat (dan malaikat memang tidak berpasangan). Keduanya adalah manusia yang kadang berbeda karakter dan sering kali berbeda pendapat. Tidak jarang suami istri terlibat saling menyalahkan, dan di sisi lain syetan selalu menggoda manusia.

Keluarga bahagia bukanlah keluarga tanpa masalah, tetapi keluarga bahagia adalah keluarga yang mampu memecahkan masalah. Jika niat awal menikah untuk mencapai ridha Ilahi, maka dalam perjalanannya ketika menghadapi masalah, solusinya pun harus solusi islami. Maka seorang suami akan memandang masalah yang terjadi bukanlah bersumber dari istrinya. Demikian pula sang istri tidak mempersepsikan suaminya sebagai biang masalah.

Hal terpenting dalam menyelesaikan masalah keluarga adalah komitmen menjalankan konsep Islam. Kesalahan memahami posisi suami menjadikan sebagian laki-laki merasa memiliki otoritas tak terbatas kepada istrinya. Sementara sebagian wanita beranggapan bahwa kefeminimannya adalah permainan bagi laki-laki. Persepsi ini membuat suami istri sulit untuk hidup dalam nuansa saling menasehati dan bermusyawarah atas permasalahan yang terjadi. Padahal diantara poin utama ajaran Islam adalah semangat syura, musyawarah. Termasuk dalam kehidupan berkeluarga.

Dengan adanya tujuan yang sama dan referensi pemecahan masalah yang sama, kebahagiaan berkeluarga lebih mudah direalisasikan. Tujuan yang sama –dengan ridha Ilahi sebagai tujuan terbesar- menjadikan suami istri mampu mengatasi segala permasalahan yang kelaki datang menyapa biduk pernikahan. Sekaligus mampu meminimalisir tekanan yang mungkin timbul. Referensi pemecahan masalah yang sama, dengan menjadikan Al-Qur’an dan sunnah sebagai undang-undang utama, membuat suami dan istri merasakan keadilan dalam setiap keputusan dan menanggalkan ego yang justru bisa mengancam utuhnya bahtera rumah tangga.

Hak ketiga untuk merealisasikan kebahagiaan adalah bersifat realistis, yakni dengan menerima kesalahan suami atau istri yang telah terjadi dan memaafkannya setelah ia menyadari serta berkomitmen akan memperbaikinya. Realistis juga berarti saling memahami karakter pasangan kita dan latar belakangnya. Mendapati suatu hal yang menurut kita masalah, tidak serta merta memandangnya sebagai kesalahan. Tetapi hal pertama yang kita tanyakan adalah mengapa terjadi demikian atau adakah latar belakang yang menjadi dasar hingga hal itu terjadi atau mengapa pasangan kita melakukannya.

Jika kita mau melihat kehidupan rumah tangga Rasulullah, sungguh kita akan mendapati perlakuan beliau kepada istri-istrinya sangat sesuai dengan karakter dan keadaan masing-masing istrinya. Aisyah yang saat itu masih muda, ia adalah istri yang paling “manja”. Maka Rasulullah pun menyediakan dirinya sebagai tempat bermanja. Pun saat Aisyah cemburu dan memecahkan tempat minum sewaktu Rasulullah sedang bersama sahabatnya. Rasulullah tidak berbalik marah, beliau hanya meminta maaf kepada sahabatnya jika merasa terganggu atas hal itu seraya mengatakan, “ibu kalian sedang marah.” Subhaanallah, mulia dan indahnya. Bisakah kita? [Sumber: Renew Your Marriage karya Mohammad Al-Khady, Psy.D, dll]

Sabtu, 21 Januari 2012

Nol Bukan Kosong

Artikel Lepas

16/1/2012 | 21 Shafar 1433 H | Hits: 2.538
Oleh: Ade N. Syahmeniar
Kirim Print
email
Ilustrasi (Karolyn Lowe)
dakwatuna.com - “Isi adalah kosong. Kosong adalah berisi”
Kalimat itu pernah kudapat dari film kera sakti. Kalimat yang pernah diucapkan oleh guru sun go kong, biksu Tong Sam Cong.
Sedangkan salah satu dosenku pernah bilang bahwa perkataan itu tidaklah benar. Kosong, ya tetap kosong. Berisi, ya berisi. Tidak mungkin orang yang tidak pernah mau mengisi otaknya dengan belajar bisa serta merta otaknya menjadi berisi dan bisa disamakan dengan orang pintar. Oleh karena itu, kosong tidak berisi dan berisi tidaklah kosong.
Berbicara tentang kosong, aku teringat pada sebuah angka yang ditemukan oleh Al Khawarizmi. Angka nol. Angka yang kemudian menyempurnakan banyak bilangan.
Apakah nol sama dengan kosong? Jawabannya adalah belum tentu.
Jika nol berdiri sendiri, angka ini tidak mempunyai arti, alias nol sama dengan kosong. Tapi tanpa angka nol, semua bilangan bisa menjadi kacau. Tak kan ada bilangan ganjil dan genap jika tidak ada angka nol. Bayangkan jika orang berhitung dari angka 1. Setelah angka 9, lalu angka apa? kalau saja tak ada angka nol, setelah Sembilan langsung angka 11. Lalu pertanyaannya, angka 11 itu ganjil ataukah genap? Jika ganjil, maka angka 9 angka ganjil atau genap? Jika hitungan itu diteruskan, akan terjadi ke-tidak-konsekuen-an antara bilangan ganjil dan genap. Angka 1 disebut ganjil, lalu angka 11 termasuk apa? angka 21, 31, 41, jenis bilangan apa? Alhamdulillah seorang ilmuwan muslim telah memecahkan permasalahan ini. Dengan angka nol yang telah ditemukan oleh Al Khwarizmi, masalah itu bisa dibereskan dan ilmu menjadi berkembang seperti saat ini.
Segala hal yang diciptakan oleh Allah mengandung banyak pelajaran. Tak terkecuali angka nol. Banyak orang yang menganggap amalan-amalan kecil bernilai kosong, bukan nol. Akibatnya, banyak yang tidak mau mengerjakan amal-amal kecil. Memungut sampah di jalan, misalnya. Menyelamatkan semut yang berada di tengah-tengah air yang sedang berjuang mencapai daratan, menyirami bunga yang layu, memberikan uang recehan pada anak jalanan yang mengelap motor di perempatan lampu merah, membantu menyeberangkan orang tua, mengucapkan salam setiap bertemu saudaranya, tersenyum, atau amalan-amalan kecil lainnya yang sering kali enggan dilakukan karena “nilainya” kecil. Padahal sesuatu yang kecil yang dilakukan secara terus-menerus lebih baik dari pada sesuatu yang besar, tapi bersifat insidental. Sedikit-sedikit, lama-lama akan jadi bukit.
Layaknya angka nol yang seringkali disamakan dengan kosong. Amalan-amalan kecil pun sering dianggap kosong. Padahal sebenarnya tergantung dimana meletakkan angka nol itu. Jika nol diletakkan sebelum angka 1, maka nilainya hanya 1, meskipun jumlah yang dituliskan banyak. Inilah gambaran orang yang menyepelekan amalan kecil. Tapi jika letaknya setelah angka 1, nilainya akan jauh lebih besar, walaupun jumlah angka nol yang ada hanya sedikit. Dua buah angka nol dituliskan sebelum angka 1, akan menjadi sia-sia, 001 tetap sama dengan 1. Jika dibalik, akan menjadi 100, lebih banyak dari angka 1. Jika melakukan amalan, meskipun kecil, tapi diniatkan untuk ibadah, maka ibarat angka nol yang diletakkan setelah angka 1, Ia berlipat ganda.
Terkadang sesuatu yang kecil itu sering disepelekan, tapi sesungguhnya dari hal-hal yang kecil inilah bisa menghasilkan sebuah perubahan besar.
Jika belum mampu melaksanakan yang besar, istiqamahlah pada yang kecil. Karena segala hal yang besar itu tersusun oleh hal-hal yang kecil. Tanpa adanya sekumpulan sel, otot tidak akan pernah terbentuk. Tanpa adanya proton-netron, atom tak akan ada. Tanpa adanya tentara-tentara yang hebat, panglima perang tidak akan berdaya melawan musuhnya.


Sumber: http://www.dakwatuna.com

Sayap yang tak Pernah Patah


Serial+CintaMari kita bicara tentang orang-orang patah hati. Atau kasihnya tak sampai. Atau cintanya tertolak. Seperti sayap-sayap Gibran yang patah. Atau kisah kasih Zainuddin dan Hayati yang kandas ketika kapal Vanderwicjk tenggelam. Atau cinta Qais dan Laila yang membuat mereka 'majnun' lalu mati. Atau, jangan-jangan ini juga cerita tentang cintamu sendiri, yang kandas dihempas takdir, atau layu tak berbalas.

Itu cerita cinta yang digali dari mata air air mata. Dunia tidak merah jambu disana. Hanya ada Qais yang telah majnun dan meratap di tengah gurun kenestapaan sembari memanggil burung-burung:

O burung, adakah yang mau meminjamkan sayap
Aku ingin terbang menjemput sang kekasih hati

Mari kita ikut berbelasungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik yang perlu dikasihani. Atau jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan belasungkawaku, dan belajarlah mengasihani dirimu sendiri.

Di alam jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai di sana. "Apabila ada cinta di hati yang satu, pastilah ada cinta dihati yang lain," kata Rumi, "sebab tangan yang satu takkan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain." Mungkin Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya. Sementara kita menyaksikan fakta lain.

kalau cinta berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki: selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu posisi kita sangat kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab disini kita justru sedang melakukan sebuah "pekerjaan jiwa" yang besar dan agung: mencintai.

Ketika kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yan sesungguhnya terjadi hanyalah "kesempatan memberi" yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang. Selama kita memiliki cinta, memiliki "sesuatu" yang dapat kita berikan, maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para pencinta sejati selamanya hanya bertanya: "Apakah yang akan kuberikan?" Tentang kepada "siapa" sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder.

Jadi kita hanya patah atau hancur karena lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini: kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak untuk hidup bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita!

 ~ Anis Matta ~