Jama'ah Penuh Berkah

Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqah antara qiyadah dan jundiyah menjadi penentu bagi sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan.

Bekerja Untuk Indonesia

Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (9:105)

Inilah Jalan Kami

Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik. (12:108)

Biduk Kebersamaan

Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.

Kesungguhan Membangun Peradaban

Semua kesungguhan akan menjumpai hasilnya. Ini bukan kata mutiara, namun itulah kenyataannya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan.

Jumat, 24 Februari 2012

Suami-Suami yang (Pandai) Menuntut

Suami-Suami yang (Pandai) Menuntut

Posted by tdd from Bersama Dakwah

Written By Admin BeDa on Selasa, 01 Maret 2011 | 15:00


Senin siang itu, Daily Hadits di sebuah kantor memasuki bab Hak Suami Atas Istri. "Istriku kemarin berdosa padaku," komentar seorang suami selepas mendengar hadits bahwa istri yang menolak ajakan suaminya dilaknat malaikat hingga pagi.

"Mengapa?" tanya temannya sambil menemani meninggalkan mushala.
"Karena ia menolak ajakanku malam itu," jawabnya.
"Kau sudah memaafkannya?" Tidak ada jawaban hingga keduanya berpisah, masuk ke ruang kerja masing-masing.

Seringkali manusia tidak proporsional dalam memandang kehidupan dan menyikapi permasalahan di dalamnya. Termasuk laki-laki, dalam bab hak dan kewajiban suami istri. Seperti penggalan kisah di atas. Dan itu bukan satu-satunya kasus.

Tentu hadits yang disampaikan lewat speaker mushala itu benar. Namun mengapa justru pemahaman yang diambil adalah "justifikasi" atas egoisme yang selama ini ada dalam diri. Setidaknya, mengapa ada suami –sadar atau tidak- yang suka jika istrinya berdosa? Kalau memang salah, bukankah lebih baik jika dibimbing dan dimaafkan? Bukan dimasukkan dalam daftar hitam dibalut dendam.

Ini renungan bagi kita semua. Para suami. Terlebih jika istrinya seperti istri lelaki dalam kisah di atas; bekerja. Bukankah itu berarti istri telah membantu suami meringankan kewajibannya? Dengan berlelah-lelah turut mencari nafkah. Lalu di rumah ia harus mendidik putra-putrinya. Tanpakhadimat, ia pula yang menangani hampir semua urusan domestik; membersihkan rumah, mencuci, menyetrika. Dengan agenda kegiatan harian sebanyak itu, wajar jika pada hari-hari tertentu istri keletihan. Lelah. Maka, dalam kondisi demikian kadang-kadang istri menolak "ajakan" suami.

Tentu berbeda jika penolakan itu selalu terjadi atau sering dilakukan istri. Yang lebih parah, jika tanpa alasan. Dalam kondisi ini suami layak marah. Dan jika suami marah, "malaikat melaknat istri itu hingga pagi."

Marilah kita berkaca pada diri Nabi. Suami ideal yang telah mensabdakan hadits itu. "Beliau biasa menjahit pakaiannya," kata Aisyah istri tercinta, "menjahit sandalnya, dan mengerjakan apa yang biasa dikerjakan kaum laki-laki di rumah." Maka bagi suami yang suka menuntut istri, sudahkah ia memberikan hak kepada istrinya juga? Sebab bagi suami egois, yang ada adalah menuntut dan meminta.

Menuntut agar istrinya tampil cantik, sedangkan ia tak pernah bercermin. Menuntut istrinya selalu rapi di hadapannya, sementara ia sendiri tidak memperhatikan betapa awut-awutan rambutnya. Menuntut istri menyediakan makanan-makanan lezat, sedangkan uang belanjanya tak cukup memenuhi permintaannya. Memarahi istri saat tidak memenuhi ajakannya, sementara ia tak pernah merespon ketika istri membutuhkan dan memberi isyarat padanya.

Bisa jadi salah satu sebab itu terjadi adalah karena kurang pahamnya suami istri akan hak dan kewajiban masing-masing. Kurang komprehensif dalam memahami tuntunan Islam, hanya mengambil setengah-setengah. Sebagian. Melupakan sebagian lainnya. Apalagi jika yang dipahami adalah haknya saja. Misalnya karena suami hanya membaca buku "Kewajiban Istri dan Hak Suami" sedangkan istrinya justru membaca, "Kewajiban Suami dan Hak Istri." Jadilah keduanya saling menuntut. Bukan saling memahami.

Alangkah indahnya jika suami istri saling memahami, saling mencintai, saling berbagi dan saling meringankan beban. Seperti kata Ali, "Demi Allah, aku selalu menimba air dari sumur hingga dadaku terasa sakit," lalu dengan penuh cinta Fatimah menimpali, "Dan aku, demi Allah, memutar penggiling gandum hingga tanganku melepuh." Wallaahu a'lam bish shawab.[Muchlisin]

Kamis, 23 Februari 2012

Engkaulah Suami yang Aku Impikan

Engkaulah Suami yang Aku Impikan

13/1/2011 | 07 Shafar 1432 H | Hits: 48.372
Oleh: A. Wafi Muhaimin
Kirim Print
Ilustrasi (griyapernikahan.com)
dakwatuna.com – Ketika engkau mencintaiku, engkau menghormatiku. Dan ketika engkau membenciku, engkau tidak mendzalimiku. (Dr. Ramdhan Hafidz)
Aku masih ingat saat malam pertama kita, saat itu engkau mengajakku shalat Isya’ berjamaah. Setelah berdoa engkau kecup keningku lalu berkata: “Dinda, aku ingin engkau menjadi pendampingku Dunia-Akhirat”. Mendengar ucapan itu, akupun menangis terharu. Malam itu engkau menjadi sosok seperti sayyidina Ali yang bersujud semalam suntuk karena bersyukur mendapatkan sosok istri seperti Siti Fatimah. Apakah begitu berharganya aku bagimu sehingga engkau mensyukuri kebersamaan kita? Malam itu, aku tidak bisa mengungkapkan rasa syukurku ini dengan ucapan. Aku hanya bisa mengikutimu, bersujud di atas hamparan sajadah. Tanpa bisa aku bendung, air mata ini tiada hentinya mengalir karena mensyukuri anugerah Allah yang diberikan padaku dalam bentuk dirimu. Akupun berikrar, aku ingin menjadi sosok seperti Siti Fatimah, dan aku akan berusaha menjadi istri sebagaimana yang engkau impikan.
Dan ternyata sujud itu bukan hanya di saat malam pertama, setiap kali aku terbangun pada akhir sepertiga malam, ku lihat engkau sedang bersujud dengan penuh kekhusu’an. Aku kadang iri dengan keshalihanmu, engkau terlena dalam sujudmu sedang aku berbaring di atas kasur yang empuk dengan sejuta mimpi. Kenapa engkau tidak membangunkan aku? Padahal aku ingin bermakmum padamu agar kelak aku tetap menjadi istrimu di surga. Aku hanya merasakan kecupan hangat melengkapi tidur malamku saat engkau terbangun untuk melakukan shalat malam. Apakah kecupan itu sebagai isyarat agar aku terbangun dari tidurku dan melaksanakan shalat berjamaah bersamamu? Atau karena engkau tidak tega membangunkan aku saat engkau melihat begitu pulasnya aku dalam tidurku? Aku yakin, dengan ketaatanmu pada agama, engkau akan membahagiakanku dunia-akhirat. Tidakkah agama kita mengajarkan bagaimana suami harus menyayangi istri, membuatnya bahagia, melindungi dan membuatnya tersenyum. Dan sebaliknya, istri harus berbakti, melayani dan membuat suaminya terpesona padanya.
Aku tidak peduli siapakah engkau, miskin dan kaya tidak ada bedanya bagiku. Aku hanya tertarik pada sosokmu yang bersahaja dan sederhana. Raut wajahmu yang penuh dengan keikhlasan membuatku ingin selalu menatapnya. Lembutnya sifatmu membuatku yakin bahwa engkau adalah suami yang bisa menerima segala pemberian Tuhan dan akan menyayangiku apa adanya. Aku tidak peduli dengan rumah mungil dan sederhana yang engkau persembahkan untuk kita tempati bersama. Rumah yang hanya terdiri dari ruang tamu, kamar kita, dan satu ruangan yang berisi buku-buku terutama buku agama. Namun dari rumah yang mungil ini, aku melihat taman surgawi menjelma di sini. Aku yakin engkau adalah sosok suami yang tekun belajar dan memahami agama, dan dengan bekal ini aku yakin engkau bisa membimbingku untuk meraih surga ilahi. Sebagaimana agama kita telah mengisyaratkan bahwa, barang siapa berjalan dijalan ilmu, maka Allah akan mempermudah jalan menuju ke surga.
Saat kulihat engkau begitu berbakti kepada kedua orang tuamu dan senang menjalin silaturahim, aku yakin engkau akan berlaku baik pada anak-istrimu. Aku lihat engkau jarang sekali berbicara, tapi masya Allah kalau sedang bekerja, engkau menjadi sosok yang tekun dan ulet. Dan dari cara tutur katamu, aku mendengar kata-kata mutiara yang penuh hikmah, sehingga yang tergambar dalam pikiranku adalah sosok Lukmanul Hakim, sosok suami dan ayah yang selalu mendidik keluarganya, mengajarkan anaknya untuk tidak menyekutukan Allah.
Sungguh aku bangga mempunyai suami sepertimu melebihi kebanggaanmu padaku. Aku lebih membutuhkanmu jauh melebihi kebutuhanmu padaku. Terima kasih suamiku, karena engkau telah membimbingku…
Posted by tdd

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/01/10672/engkaulah-suami-yang-aku-impikan/#ixzz1nDr71B1q

5 Sebab Melemahnya Iman Aktifis Dakwah

5 Sebab Melemahnya Iman Aktifis Dakwah

Posted by tdd from Bersama Dakwah

Written By Admin BeDa on Rabu, 22 Februari 2012 | 23:00


Kelemahan yang paling lemah dan melemahkan seorang muslim adalah lemah iman. Dengan mengetahui sebabnya, diharapkan kita mampu mengatasinya, sehingga iman kita semakin kuat dan kokoh.

Berikut ini 5 sebab kelemahan iman, khususnya pada aktifis dakwah :

Tenggelam dalam Kesibukan Duniawi
Tak seorang pun yang luput dari urusan dunia, termasuk seorang dai. Bahkan Al-Qur’an sendiri mengingatkan kita agar mencari akhirat tanpa melupakan dunia. Namun, ketika kesibukan dunia yang menguasai jiwa, ketika seseorang tenggelam dalam kesibukan duniawi, maka iman akan melemah segera.

”Kami telah disibukkan oleh harta dan keluarga kami, maka ampunilah kami.”

Lalai terhadap Faktor Penguat Iman
Lalai dalam mengetahui faktor-faktor yang dapat menguatkan dan meningkatkan iman kepada Allah adalah sebab melemahnya iman. Yakni ketika seseorang tidak memahami dan mengamalkan bahwa ibadah, dzikir, dan kebajikan itulah penguat iman. Saat seseorang menambah kebaikan, sejatinya ia meningkatkan iman. Sebaliknya, siapa yang memilih malas-malasan dari beramal kebajikan, pada saat yang sama ia telah membuat imannya lemah.

Sebagian sahabat berkata, “Iman itu bertambah dan berkurang. Ia bertambah dengan ketaatan dan zikir kepada-Nya, ia berkurang dengan kemaksiatan dan lupa kepada-Nya.”

Menumpuknya Aktifitas dan Beban yang Membuat Ruh dan Jiwa Kehilangan Haknya
Aktifitas yang padat dan beban kerja yang menumpuk -termasuk aktifitas politik dan kerja-kerja sosial- jika tidak dimenej dengan baik akan berakibat pada melemahnya iman. Mengapa? Karena padatnya aktifitas dan menumpuknya beban kerja bisa menjadikan seseorang mengabaikan hak-hak ruh dan jiwanya. Ketika hak-hak ruhiyah itu tak dipenuhi, kegersangan jiwa terasa. Hilangnya sikap bijaksana, pudarnya ketenangan dan kedamaian, dan sempitnya dada adalah indikasi melemahnya iman akibat hak ruh yang tak tertunaikan ini.

Mengejar Target Dakwah, Melupakan Penguat Iman
Ada sebagian aktifis yang sangat bersemangat dalam aktifitas dakwah untuk mengejar target-target kuantitas, namun ia lupa faktor-faktor yang dapat meningkatkan iman. Ia menyeru orang lain, namun meninggalkan dirinya sendiri. Merasa kesibukan sebagai aktifis dan pekerjaan dakwah sudah cukup menjamin menguatnya iman.

Aktifitas dan Peran yang Tak Seimbang
Seorang Muslim, khususnya seorang dai, pasti memiliki lebih dari satu peran dalam hidupnya. Ada peran keluarga sebagai suami (bagi yang sudah menikah), ayah (bagi yang telah memiliki anak), anak (khususnya bagi aktifis muda yang belum menikah), karyawan atau pimpinan di tempat kerja, anggota masyarakat di lingkungannya, organisatoris dan aktifis di organisasinya yang kadang-kadang lebih dari dua, dan seterusnya.

Ketika aktifitas hanya difokuskan pada satu peran, sementara pada banyak peran yang lain ia abai kemudian gagal, maka iman bisa melemah karena ia akan tersibukkan dengan banyak lubang masalah yang ia gali sendiri. Aktifitas yang seimbang, pemenuhan semua peran dengan seimbang lebih menjamin seorang aktifis dakwah untuk tidak hanya imannya tak terganggu dari arah itu, namun juga membuatnya menjadi lebih ideal. [sumber : bersama dakwah]

Antara Dia dan Kita

Antara Dia dan Kita

 | 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrKWaFWB9N1V6i5pfN70rYkYV9GnKFGs4_nEy9n65dTBOmzT65PhxbkRuCGYwYcUUfAxrhmwsFTChxZqN08fuhNrtoHvQPoyScoZ62uB38VWQJ01o0DJNaCBQW0g03accG0GiVOO6oHDw/s1600-r/hti1.jpg
Lelaki renta itu,
dengan kehalusan hatinya ingin ber-Islam
menjadi sebab turunnya ayat.
‘Abasa watawalla', Rasul pun ditegur Allah karenanya.
seorang miskin lagi buta,
bukan berarti tak lebih utama
dari para pemuka negara
 
Lelaki renta itu,
pernah minta keringanan
untuk tidak ikut sholat berjamaah di masjid
karena dia buta
karena dia sebatang kara
karena masjid jauh sekali dari rumahnya
tapi tanya Rasul, “Apakah engkau masih mendengar adzan?”
saat dijawabnya masih, maka kata Rasul, “Kalau begitu, berangkatlah”
 
lalu, tunduk patuh ia pada perintah
sekali pun tak pernah ia sanggah
tiap sholat lima waktu sholat berjamaah
 
meski fajar masih pekat
dan jarak masjid tak dekat,
ia meraba-raba  dalam gelap
hingga suatu saat, kakinya tersandung bongkahan batu
badannya terjerembab jatuh,
mukanya tersungkur di runcingnya batu
berdarah-darah…
 
setelahnya,
selalu datang seorang lelaki
menuntunnya dengan ramah
pergi dan pulang sholat berjamaah
setiap hari, setiap lima waktu
 
hingga suatu saat
lelaki tua ingin sekali tahu
siapa gerangan lelaki penolongnya itu
karena ingin ia doakan
atas kebajikannya selama ini
 
tapi kata lelaki muda
“Jangan sekali-kali kau doakan aku
dan jangan sekali-kali kau ingin tahu namaku
karena aku adalah iblis”
 
sontak lelaki renta itu terkejut,
“Bagaimana mungkin engkau menuntunku ke masjid,
sedangkan dirimu menghalangi manusia untuk mengerjakan sholat?”
 
Iblis menjawab,
“Ingatkah dulu saat kau hendak sholat subuh berjamaah,
kau tersandung batu, lalu bongkahannya melukai wajahmu?
Pada saat itu aku mendengar ucapan Malaikat,
bahwa Allah telah mengampuni setengah dosamu.
Aku takut kalau engkau tersandung lagi,
lalu Allah menghapuskan setengah dosamu yang lain.
Maka aku selalu menuntunmu ke masjid
dan mengantarkanmu pulang.”
 
Lalu, saat tubuh itu merenta
makin menua dimakan usia
datang seruan perang Qaddisiyah
 
Sang khalifah Umar mengumpulkan segenap lelaki
dari seluruh penjuru negri
terselip ia, berbaris bersama
ingin sekali ikut berperang di medan laga
demi cita-cita mulia
 
Khalifah Umar melarangnya
bagaimana seorang buta lagi renta, akan ikut berperang?
bagaimana jika dia langsung celaka terkena tombak?
atau justru mencelakai temannya karena tak mampu mengenali sesiapa?
 
Tapi, lelaki tua itu bersikukuh,
“Tempatkan aku di  antara dua pasukan yang berperang
Aku akan membawa panji kemenangan
Aku akan memegangnya erat-erat untuk kalian.
Aku buta, karena itu aku pasti tak akan lari”
Khalifah, tak lagi mampu menghalangi
 
Lalu semuanya, berangkatlah
lekaki tua itu ingin menepati janjinya
dengan baju besi yang dikenakannya
dan bendera besar yang dibawanya
dia berjanji akan mengibarkannya senantiasa,
atau mati terkapar di sampingnya
 
lewat pertempuran Qaddisiyah
Persia yang congak pun kalah
tapi kemengangan itu tak murah
dibayar dengan nyawa ratusan syuhada
terselip di antara mereka
jenazah lelaki tua
terkapar berlumuran darah
sambil memeluk erat sebuah bendera
sungguh, dia telah menepati janjinya
 
wahai lelaki mulia,
sesak dadaku membaca kisah hidupmu
menyungai sudut mataku mengenangmu
engkau buta, sebatangkara dan renta
tapi itu tak membuatmu pasrah dan diam
meski udzur telah membolehkanmu.
untuk tak kemana-mana, di rumah saja
 
Lalu, bagaimana dengan diriku ini?
aku masih muda,
aku bukan fuqara
aku tak buta
jua tak sebatangkara
tapi kenapa,
sering sekali ada alasan mendera
untuk tak bersegera?
 
Lelaki sepertimu,
dengan segala keterbatasan
terus mencari-cari alasan
agar mampu mengambil peran
 
sedang aku, kita
dengan segala kemudahan
sering mencari-cari alasan
agar boleh tak ikut berperan
 
Lalu, dengan apa
akan kita buktikan
bahwa kita ini Islam?


~Belajar darinya, Abdullah bin Ummi Maktum

22 Pebruari 2012

Muktia Farid