Jama'ah Penuh Berkah

Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqah antara qiyadah dan jundiyah menjadi penentu bagi sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan.

Bekerja Untuk Indonesia

Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (9:105)

Inilah Jalan Kami

Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik. (12:108)

Biduk Kebersamaan

Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.

Kesungguhan Membangun Peradaban

Semua kesungguhan akan menjumpai hasilnya. Ini bukan kata mutiara, namun itulah kenyataannya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan.

Senin, 14 Januari 2013

ADAPTASI SEUMUR HIDUP

"Pernikahan adalah adaptasi seumur hidup!".
Itu nasihat mertua saya dihari pertama saya menikah. Kalimatnya sederhana, tapi dalam maknanya. Setelah saya mendalami ilmu tentang komunikasi antar pribadi dan komunikasi antar budaya, semakin mengertilah saya, betapa tidak sederhananya mengimplementasikan 'saling adaptasi' itu, apalagi seumur hidup.
Pernikahan adalah tempat dimana dua pribadi - dengan dua latar belakang yang berbeda - musti bersatu, setiap hari, selama sisa hidupnya. Diawal pernikahan mungkin dua perbedaan ini tidak terlalu menjadi masalah, karena bunga-bunga cinta dan kebahagiaan seolah menutup adanya potensi masalah ini. Tapi setelah berjalan sebulan - dua bulan, 'aslinya' mulai keliatan. Konflik-konflik kecil mulai muncul, dari masalah naruh handuk, baju kotor, menata rumah, dan sebagainya. Perbedaan kebiasaan inilah yang membutuhkan 'kedewasaan' dua belah pihak untuk saling 'menyesuaikan' satu sama lain.
Adaptasi berarti menyesuaikan. Kata ini akan menjadi lebih bijak diterima daripada harus saling menuntut peran antara suami - istri. Ada suatu rumah tangga, dimana antara suami dan istri tidak berhenti saling 'menuntut' peran masing-masing. Sang suami menganggap istrinya tidak terlalu pandai mengurus rumah dan anak. Rumah selalu kelihatan berantakan, cucian tidak ada yang bersih, anak-anak bergantian yang sakit. Ketidakpuasan suami inilah yang menyebabkan suami sering 'turun tangan' sendiri menangani keadaan rumah dengan omelan yang berkepanjangan.
Sikap suami inilah yang menyebabkan sang istri tidak 'nyaman' dengan tuntutan sang suami. Jujur, memang ketrampilan mengurus rumah dan anak tidak 'setinggi' yang diharapkan suaminya. Dia juga sudah berusaha, namun tampaknya, menurut suami it's not enough, karena ibunya dulu jauh lebih trampil dari istrinya (ini masalah kebiasaan yang dibawa sebelum menikah lo ....).
Nah, sebagai bentuk 'balasan' rasa tidak nyaman yang ditimbulkan oleh suami, sang istri kemudian menuntut tanggung jawab suami masalah nafkah yang diberikan. Memang, harus diakui rizki Allah belum melimpah ke keluarga tersebut. Usaha suami dinilai belum maksimal mengusahakan nafkah yang cukup bagi keluarga. Jadi ?
Memang, masalah tuntut-menuntut peran ini tidak akan pernah berhenti, sepanjang belum ada kesadaran masing-masing pihak untuk 'menghentikan tuntutan' (kaya' kasus pengadilan aja ya?) dan mulai 'menerima' pasangan apa adanya. 
Inilah yang dimaksud dengan ADAPTASI. Proses ini adalah proses untuk saling menyesuaikan, menerima pasangan apa adanya, dan tidak 'berusaha' mengubah pasangan seperti keinginannya. Proses adaptasi ini adalah proses yang interaktif, dialektik antara suami dan istri. Proses ini nantinya akan menghasilkan 'budaya ketiga' , budaya kompromi dan budaya campuran (mixed culture) yang disepakati oleh suami dan istri.
Bagaimana dengan seumur hidup?
It means that, proses adaptasi diatas merupakan usaha yang harus kita lakukan seumur hidup! Setiap hari kita akan menemukan hal baru dari pasangan kita (demikian juga sebaliknya, pasangan kita juga pasti akan menemukan sesuatu yang baru pada diri kita). 
Ketika kita sedang be-te, banyak masalah di kantor, kehadiran anak, kehadiran keluarga di rumah, kondisi ekonomi, dll adalah situasi dan kondisi yang mengharuskan kita untuk terus beradaptasi dengan pasangan. 
Perlu diingat :
Tingginya daya adaptasi diantara suami-istri akan mempengaruhi kesolidan mereka dalam mengatasi berbagai masalah di rumah tangganya. There is no such a big problem as long as you are with me!
Jangan pernah berusaha untuk 'merubah' pasangan seperti yang kita inginkan! Karena ia dibesarkan dengan budaya dan caranya sendiri. Yang bisa kita lakukan adalah dengan beradaptasi / menyesuaikan dengan kebiasaan-kebiasaan dirinya.
sumber: family comunication.com

Kamis, 06 Desember 2012

Tahukah Anda, Siapa itu Dracula? Sang Pembantai

Tahukah Anda, Siapa itu Dracula? Sang Pembantai

Redaksi 1 – Kamis, 22 Muharram 1434 H / 6 Desember 2012 08:09 WIB
Kisah hidup Dracula merupakan salah satu contoh bentuk manipulasi sejarah yang begitu nyata yang dilakukan Barat. Kalau film Rambo merupakan suatu fiksyen yang kemudian dihasilkan  seolah-olah menjadi tokoh yang nyata oleh Barat, tetapi Dracula merupakan keterbalikannya, tokoh fakta dijadikan fiksi.
Diawali dari novel  karya Bram Stoker yang berjudul Dracula, kemudian tokoh ini mulai difilmkan seperti Dracula’s Daughter (1936), Son of Dracula (1943), Hoorof of Dracula (1958), Nosferatu (1922) yang dibuat ulang pada tahun 1979 dan film-film dracula yang lain yang dikemas dalam bentuk yang lebih moden seperti twilight.


Dalam buku berjudul “Dracula, Pembantai Umat Islam Dalam Perang Salib” karya Hyphatia Cneajna , kisah Dracula   sebenarnya merupakan pembesar Wallachia , berketurunan Vlad Dracul.
Dalam uraian Hyphatia tersebut, kisah Dracula tidak boleh diceritakan  paska Perang Salib. Dracula dilahirkan ketika peperangan antara Kerajaan Turki Ustmaniyah sebagai wakil Islam, dan Kerajaan Hungary sebagai wakil Kristen.
Keduanya tersebut berusaha menguasai dan merebutkan wilayah-wilayah baik  Eropa maupun di Asia . Puncak  peperangan ini adalah jatuhnya Konstantinopel, yaitu ketika benteng Kristian ada di  tangan kekuasaan khilafah Ustmaniyah.
Dalam peristiwa Perang Salib,  Dracula merupakan salah seorang panglima tentera Salib. Dalam perang inilah Dracula banyak melakukan pembunuhan terhadap umat Islam. Hyphatia memaparkan jumlah korban kekejaman Dracula mencapai 300.000 jiwa umat Islam. Korban-korban tersebut dibunuh dengan berbagai cara yang  sangat biadab dan kejam, yaitu dibakar hidup-hidup, dipaku kepalanya, dan yang paling kejam adalah disula.
Penyulaan merupakan cara penyiksaan yang amat kejam, yaitu seseorang itu ditusuk dubur dengan kayu sebesar lengan tangan orang dewasa yang ujungnya ditajamkan. Korban yang telah ditusuk kemudian dimasukan sehingga kayu sula tersebut menembus hingga perut, kerongkongan hingga menembus kepala melalui mulut.
Hyphatia mengatakan dalam bukunya :
“Ketika matahari mulai meninggi Dracula memerintahkan penyulaan segera dimulakan. Para prajurit melakukan perintah tersebut  seolah seperti robot yang telah dipogram. Penyulaan disulami dengan teriakan kesakitan dan jeritan penderitaan yang segera memenuhi segala penjuru tempat itu. Mereka, umat Islam pada saat itu sedang dijemput ajal dengan cara yang begitu mengerikan. Mereka tak sempat lagi mengingat kenangan indah dan manis yang pernah mereka alami.”
Tidak hanya orang dewasa saja yang menjadi korban kekejaman penyulaan, tapi juga bayi. Hyphatia memberikan pemaparan tetang penyulaan terhadap bayi sebagai berikut:
“Bayi-bayi yang disula tak sempat menangis  kerana mereka   kesakitan yang amat apabila hujung kayu menembus perut kecilnya. Tubuh-tubuh korban itu meregang di kayu sula untuk menjemput ajalnya.”
Kekejaman seperti yang telah dipaparkan di atas itulah yang selama ini disembunyikan oleh Barat. Menurut Hyphatia hal ini terjadi kerana dua sebab. Pertama, pembunuhan beramai – ramai yang dilakukan Dracula terhadap umat Islam tidak boleh dihapuskan dari Perang Salib.
Negara – negara Barat yang pada masa Perang Salib menjadi tunggak utama tentera Salib, tidak mau tercoreng wajahnya. Mereka termasuk yang mengutuk dan menentang pembunuhan beramai – ramai oleh Hilter dan Pol Pot, tidak ingin membuka aib mereka sendiri. Dan ini sudah menjadi tabiat Barat yang selalu ingin tampil seperti pahlawan.
Kedua, Dracula merupakan pahlawan bagi pasukan Salib. Walau bagaimana pun kejamnya Dracula, nama baiknya akan selalu dilindungi. Sehingga di Rumania saat ini, Dracula masih dianggap pahlawan. Sebagaimana sebahagian besar sejarah pahlawan – pahlawan pasti akan diambil sebagai superhero dan dibuang segala kejelekan, kejahatan dan kelemahannya.
Untuk menutup kekejaman mereka, Barat terus-menerus menyembunyikan siapa sebenarnya Dracula.  Mereka berusaha agar sejarah  jati diri  Dracula yang sebenarnya tidak terkuak. Dan, harus diakui bahwa usaha Barat untuk mengubah sejarah Dracula dari fakta menjadi fiksi ini cukup berhasil.

Utusan Sultan Mehmed II
Ukuran keberhasilan ini dapat dilihat dengan banyaknya masyarakat, khususnya umat Islam sendiri yang tidak mengetahui tentang siapa sebenarnya Dracula.  Masyarakat umum hanya mengetahui bahwa Dracula adalah merupakan lagenda vampire yang kehausan darah, tanpa mengetahui kisah sebenarnya.
Selain membongkar kebohongan yang dilakukan oleh Barat, dalam bukunya Hyphatia juga mengupas makna salib dalam kisah Dracula. Seperti yang telah diketahui umum  bahawa penggambaran Dracula yang telah menjadi fiksi tidak boleh dilepaskan dari dua benda, yaitu bawang putih dan salib.



Konon hanya dengan kedua benda tersebut Dracula akan takut dan  dikalahkan. Menurut Hyphatia penggunaan simbol salib merupakan cara Barat untuk menghapus jejak sejarah pahlawan mujahid-mujahid Islam dalam perang salib,  sekaligus untuk menunjukkan kehebatan mereka.
Sultan Mahmud II (di Barat dikenal sebagai Sultan Mehmed II) dan juga dikenali sebagai Al- Fateh dalam sejarah Islam.  Sultan ini merupakan penakluk Konstantinopel yang sekaligus penakluk Dracula, ia adalah seorang yang telah mengalahkan dan memenggal kepala Dracula di tepi Danua Snagov. Namun barat berusaha memutar – balikan fakta ini .
Mereka berusaha menciptakan cerita sejarah agar merekalah yang terlihat mengalahkan Dracula. Maka diciptakan sebuah fiksi bahwa Dracula hanya boleh dikalahkan oleh salib. Tujuannya adalah ingin menghilangkan peranan Sultan Mahmud II sekaligus untuk menunjukkan bahwa merekalah yang paling hebat, yang bisa mengalahkan Dracula si Haus Darah. (DYP)
Sumber: Eramuslim

Surga dalam Hinaan dan Tertawaan

 Sumber: fimadani

26 November 2012 4:23 pm | Oase - 0 Reads

(c) Jay Daley
Pahit memang saat kita ditertawai karena dianggap orang aneh bagi mereka yang tak terjamah oleh hidayah-Nya. Saat kebanyakan orang memilih berakrab-akraban dengan wanita di sekitarnya, sedangkan kita memilih untuk menundukkan pandangan. Bagaimana anehnya tindakan itu bagi mereka?
Saat kebanyakan orang memilih untuk berpacaran dengan alasan penjajakan sebelum menikah sedang kita memilih untuk menikah tanpa pacaran. Saat kebanyakan orang memilih untuk menggunakan pakaian ketat membentuk lekukan tubuh sedang kita memilih untuk berpakaian longgar yang dianggap kolot bagi mereka.
Saat kebanyakan orang memilih untuk membanggakan rambut indah mengurainya sedang kita memilih untuk menutupnya dengan jilbab yang berkibar kala tertiup angin. Saat kebanyakan orang sibuk dengan urusannya masing-masing sedang kita memilih untuk sibuk dengan urusan ummat yang tak memberi keuntungan materi untuk kita.
Saat kebanyakan orang diam dan membisu ketika agamanya dihina sedang kita memilih untuk meneriakkan kebenaran yang tak jarang gelar ‘teroris’ ekstrim radikal melekat pada kita. Bagaimana anehnya semua tindakan itu bagi mereka, tdiak jarang mereka menertawai sikap kita. Tidak jarang mereka menjadikan sikap kita sebagai bahan tertawaan.
Betapa seringnya hinaan itu mebuat hati kita perih, betapa sering hinaan itu membuat hati kita menangis. Betapa seringnya hinaan itu mebuat hati kita menjerit, betapa sering hinaan itu membuat hati kita tersayat hingga luka. Pedih dan perih bagaikan mengenggam bara api.
Akan datang kepada manusia suatu masa, orang yang sabar pada masa itu bagaikan orang yang sedang menggenggam bara api” (HR. Tirmidzi)
Kebaikan yang kita tawarkan kepada mereka seolah menjadi barang usang yang tak berharga, “Seorang manusia yang sehat akalnya akan memahami betapa berharganya berlian walau penuh dengan debu. Mereka yang tidak mengerti betapa berharganya berjalan di atas tali agama Allah, bagaikan binatang yang tidak mengerti akan nilai sebuah berlian. Bukan karena berlian itu berdebu, hanya saja hatinya usang karena tak terjamah oleh iman”
Maka bersyukurlah kita yang selama ini mereka tertawai,
Maka berbahagilah kita yang selama ini mereka hina..
Jika pedih menyayat hati, menagislah dalam sujudmu pada-Nya
Karena cacian dan hinaan mereka adalah syurga bagi kita kawan .
Apa yang kita rasakan saat ini hanyalah bagian kecil dari ujian dalam menggapai keteguhan iman yang sesungguhnya;
‘Apakah manusia menyangka mereka dibiarkan saja untuk berkata “kami telah beriman”. Padahal mereka belum diuji. Kami telah uji orang-orang sebelum mereka, supaya Allah mengetahui siapa yang benar keimanannya dan siapa yang dusta dalam keimanannya”. (QS Al Ankabut: 2-3)
Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita istiqomah di jalan-Nya dan kelak memasukkan kita dalam syurgaNya. Allahumma Amin

Oleh : Abdi Dzil Ikram, Makassar
Facebook, Blog 

Jumat, 24 Februari 2012

Suami-Suami yang (Pandai) Menuntut

Suami-Suami yang (Pandai) Menuntut

Posted by tdd from Bersama Dakwah

Written By Admin BeDa on Selasa, 01 Maret 2011 | 15:00


Senin siang itu, Daily Hadits di sebuah kantor memasuki bab Hak Suami Atas Istri. "Istriku kemarin berdosa padaku," komentar seorang suami selepas mendengar hadits bahwa istri yang menolak ajakan suaminya dilaknat malaikat hingga pagi.

"Mengapa?" tanya temannya sambil menemani meninggalkan mushala.
"Karena ia menolak ajakanku malam itu," jawabnya.
"Kau sudah memaafkannya?" Tidak ada jawaban hingga keduanya berpisah, masuk ke ruang kerja masing-masing.

Seringkali manusia tidak proporsional dalam memandang kehidupan dan menyikapi permasalahan di dalamnya. Termasuk laki-laki, dalam bab hak dan kewajiban suami istri. Seperti penggalan kisah di atas. Dan itu bukan satu-satunya kasus.

Tentu hadits yang disampaikan lewat speaker mushala itu benar. Namun mengapa justru pemahaman yang diambil adalah "justifikasi" atas egoisme yang selama ini ada dalam diri. Setidaknya, mengapa ada suami –sadar atau tidak- yang suka jika istrinya berdosa? Kalau memang salah, bukankah lebih baik jika dibimbing dan dimaafkan? Bukan dimasukkan dalam daftar hitam dibalut dendam.

Ini renungan bagi kita semua. Para suami. Terlebih jika istrinya seperti istri lelaki dalam kisah di atas; bekerja. Bukankah itu berarti istri telah membantu suami meringankan kewajibannya? Dengan berlelah-lelah turut mencari nafkah. Lalu di rumah ia harus mendidik putra-putrinya. Tanpakhadimat, ia pula yang menangani hampir semua urusan domestik; membersihkan rumah, mencuci, menyetrika. Dengan agenda kegiatan harian sebanyak itu, wajar jika pada hari-hari tertentu istri keletihan. Lelah. Maka, dalam kondisi demikian kadang-kadang istri menolak "ajakan" suami.

Tentu berbeda jika penolakan itu selalu terjadi atau sering dilakukan istri. Yang lebih parah, jika tanpa alasan. Dalam kondisi ini suami layak marah. Dan jika suami marah, "malaikat melaknat istri itu hingga pagi."

Marilah kita berkaca pada diri Nabi. Suami ideal yang telah mensabdakan hadits itu. "Beliau biasa menjahit pakaiannya," kata Aisyah istri tercinta, "menjahit sandalnya, dan mengerjakan apa yang biasa dikerjakan kaum laki-laki di rumah." Maka bagi suami yang suka menuntut istri, sudahkah ia memberikan hak kepada istrinya juga? Sebab bagi suami egois, yang ada adalah menuntut dan meminta.

Menuntut agar istrinya tampil cantik, sedangkan ia tak pernah bercermin. Menuntut istrinya selalu rapi di hadapannya, sementara ia sendiri tidak memperhatikan betapa awut-awutan rambutnya. Menuntut istri menyediakan makanan-makanan lezat, sedangkan uang belanjanya tak cukup memenuhi permintaannya. Memarahi istri saat tidak memenuhi ajakannya, sementara ia tak pernah merespon ketika istri membutuhkan dan memberi isyarat padanya.

Bisa jadi salah satu sebab itu terjadi adalah karena kurang pahamnya suami istri akan hak dan kewajiban masing-masing. Kurang komprehensif dalam memahami tuntunan Islam, hanya mengambil setengah-setengah. Sebagian. Melupakan sebagian lainnya. Apalagi jika yang dipahami adalah haknya saja. Misalnya karena suami hanya membaca buku "Kewajiban Istri dan Hak Suami" sedangkan istrinya justru membaca, "Kewajiban Suami dan Hak Istri." Jadilah keduanya saling menuntut. Bukan saling memahami.

Alangkah indahnya jika suami istri saling memahami, saling mencintai, saling berbagi dan saling meringankan beban. Seperti kata Ali, "Demi Allah, aku selalu menimba air dari sumur hingga dadaku terasa sakit," lalu dengan penuh cinta Fatimah menimpali, "Dan aku, demi Allah, memutar penggiling gandum hingga tanganku melepuh." Wallaahu a'lam bish shawab.[Muchlisin]

Kamis, 23 Februari 2012

Engkaulah Suami yang Aku Impikan

Engkaulah Suami yang Aku Impikan

13/1/2011 | 07 Shafar 1432 H | Hits: 48.372
Oleh: A. Wafi Muhaimin
Kirim Print
Ilustrasi (griyapernikahan.com)
dakwatuna.com – Ketika engkau mencintaiku, engkau menghormatiku. Dan ketika engkau membenciku, engkau tidak mendzalimiku. (Dr. Ramdhan Hafidz)
Aku masih ingat saat malam pertama kita, saat itu engkau mengajakku shalat Isya’ berjamaah. Setelah berdoa engkau kecup keningku lalu berkata: “Dinda, aku ingin engkau menjadi pendampingku Dunia-Akhirat”. Mendengar ucapan itu, akupun menangis terharu. Malam itu engkau menjadi sosok seperti sayyidina Ali yang bersujud semalam suntuk karena bersyukur mendapatkan sosok istri seperti Siti Fatimah. Apakah begitu berharganya aku bagimu sehingga engkau mensyukuri kebersamaan kita? Malam itu, aku tidak bisa mengungkapkan rasa syukurku ini dengan ucapan. Aku hanya bisa mengikutimu, bersujud di atas hamparan sajadah. Tanpa bisa aku bendung, air mata ini tiada hentinya mengalir karena mensyukuri anugerah Allah yang diberikan padaku dalam bentuk dirimu. Akupun berikrar, aku ingin menjadi sosok seperti Siti Fatimah, dan aku akan berusaha menjadi istri sebagaimana yang engkau impikan.
Dan ternyata sujud itu bukan hanya di saat malam pertama, setiap kali aku terbangun pada akhir sepertiga malam, ku lihat engkau sedang bersujud dengan penuh kekhusu’an. Aku kadang iri dengan keshalihanmu, engkau terlena dalam sujudmu sedang aku berbaring di atas kasur yang empuk dengan sejuta mimpi. Kenapa engkau tidak membangunkan aku? Padahal aku ingin bermakmum padamu agar kelak aku tetap menjadi istrimu di surga. Aku hanya merasakan kecupan hangat melengkapi tidur malamku saat engkau terbangun untuk melakukan shalat malam. Apakah kecupan itu sebagai isyarat agar aku terbangun dari tidurku dan melaksanakan shalat berjamaah bersamamu? Atau karena engkau tidak tega membangunkan aku saat engkau melihat begitu pulasnya aku dalam tidurku? Aku yakin, dengan ketaatanmu pada agama, engkau akan membahagiakanku dunia-akhirat. Tidakkah agama kita mengajarkan bagaimana suami harus menyayangi istri, membuatnya bahagia, melindungi dan membuatnya tersenyum. Dan sebaliknya, istri harus berbakti, melayani dan membuat suaminya terpesona padanya.
Aku tidak peduli siapakah engkau, miskin dan kaya tidak ada bedanya bagiku. Aku hanya tertarik pada sosokmu yang bersahaja dan sederhana. Raut wajahmu yang penuh dengan keikhlasan membuatku ingin selalu menatapnya. Lembutnya sifatmu membuatku yakin bahwa engkau adalah suami yang bisa menerima segala pemberian Tuhan dan akan menyayangiku apa adanya. Aku tidak peduli dengan rumah mungil dan sederhana yang engkau persembahkan untuk kita tempati bersama. Rumah yang hanya terdiri dari ruang tamu, kamar kita, dan satu ruangan yang berisi buku-buku terutama buku agama. Namun dari rumah yang mungil ini, aku melihat taman surgawi menjelma di sini. Aku yakin engkau adalah sosok suami yang tekun belajar dan memahami agama, dan dengan bekal ini aku yakin engkau bisa membimbingku untuk meraih surga ilahi. Sebagaimana agama kita telah mengisyaratkan bahwa, barang siapa berjalan dijalan ilmu, maka Allah akan mempermudah jalan menuju ke surga.
Saat kulihat engkau begitu berbakti kepada kedua orang tuamu dan senang menjalin silaturahim, aku yakin engkau akan berlaku baik pada anak-istrimu. Aku lihat engkau jarang sekali berbicara, tapi masya Allah kalau sedang bekerja, engkau menjadi sosok yang tekun dan ulet. Dan dari cara tutur katamu, aku mendengar kata-kata mutiara yang penuh hikmah, sehingga yang tergambar dalam pikiranku adalah sosok Lukmanul Hakim, sosok suami dan ayah yang selalu mendidik keluarganya, mengajarkan anaknya untuk tidak menyekutukan Allah.
Sungguh aku bangga mempunyai suami sepertimu melebihi kebanggaanmu padaku. Aku lebih membutuhkanmu jauh melebihi kebutuhanmu padaku. Terima kasih suamiku, karena engkau telah membimbingku…
Posted by tdd

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/01/10672/engkaulah-suami-yang-aku-impikan/#ixzz1nDr71B1q

5 Sebab Melemahnya Iman Aktifis Dakwah

5 Sebab Melemahnya Iman Aktifis Dakwah

Posted by tdd from Bersama Dakwah

Written By Admin BeDa on Rabu, 22 Februari 2012 | 23:00


Kelemahan yang paling lemah dan melemahkan seorang muslim adalah lemah iman. Dengan mengetahui sebabnya, diharapkan kita mampu mengatasinya, sehingga iman kita semakin kuat dan kokoh.

Berikut ini 5 sebab kelemahan iman, khususnya pada aktifis dakwah :

Tenggelam dalam Kesibukan Duniawi
Tak seorang pun yang luput dari urusan dunia, termasuk seorang dai. Bahkan Al-Qur’an sendiri mengingatkan kita agar mencari akhirat tanpa melupakan dunia. Namun, ketika kesibukan dunia yang menguasai jiwa, ketika seseorang tenggelam dalam kesibukan duniawi, maka iman akan melemah segera.

”Kami telah disibukkan oleh harta dan keluarga kami, maka ampunilah kami.”

Lalai terhadap Faktor Penguat Iman
Lalai dalam mengetahui faktor-faktor yang dapat menguatkan dan meningkatkan iman kepada Allah adalah sebab melemahnya iman. Yakni ketika seseorang tidak memahami dan mengamalkan bahwa ibadah, dzikir, dan kebajikan itulah penguat iman. Saat seseorang menambah kebaikan, sejatinya ia meningkatkan iman. Sebaliknya, siapa yang memilih malas-malasan dari beramal kebajikan, pada saat yang sama ia telah membuat imannya lemah.

Sebagian sahabat berkata, “Iman itu bertambah dan berkurang. Ia bertambah dengan ketaatan dan zikir kepada-Nya, ia berkurang dengan kemaksiatan dan lupa kepada-Nya.”

Menumpuknya Aktifitas dan Beban yang Membuat Ruh dan Jiwa Kehilangan Haknya
Aktifitas yang padat dan beban kerja yang menumpuk -termasuk aktifitas politik dan kerja-kerja sosial- jika tidak dimenej dengan baik akan berakibat pada melemahnya iman. Mengapa? Karena padatnya aktifitas dan menumpuknya beban kerja bisa menjadikan seseorang mengabaikan hak-hak ruh dan jiwanya. Ketika hak-hak ruhiyah itu tak dipenuhi, kegersangan jiwa terasa. Hilangnya sikap bijaksana, pudarnya ketenangan dan kedamaian, dan sempitnya dada adalah indikasi melemahnya iman akibat hak ruh yang tak tertunaikan ini.

Mengejar Target Dakwah, Melupakan Penguat Iman
Ada sebagian aktifis yang sangat bersemangat dalam aktifitas dakwah untuk mengejar target-target kuantitas, namun ia lupa faktor-faktor yang dapat meningkatkan iman. Ia menyeru orang lain, namun meninggalkan dirinya sendiri. Merasa kesibukan sebagai aktifis dan pekerjaan dakwah sudah cukup menjamin menguatnya iman.

Aktifitas dan Peran yang Tak Seimbang
Seorang Muslim, khususnya seorang dai, pasti memiliki lebih dari satu peran dalam hidupnya. Ada peran keluarga sebagai suami (bagi yang sudah menikah), ayah (bagi yang telah memiliki anak), anak (khususnya bagi aktifis muda yang belum menikah), karyawan atau pimpinan di tempat kerja, anggota masyarakat di lingkungannya, organisatoris dan aktifis di organisasinya yang kadang-kadang lebih dari dua, dan seterusnya.

Ketika aktifitas hanya difokuskan pada satu peran, sementara pada banyak peran yang lain ia abai kemudian gagal, maka iman bisa melemah karena ia akan tersibukkan dengan banyak lubang masalah yang ia gali sendiri. Aktifitas yang seimbang, pemenuhan semua peran dengan seimbang lebih menjamin seorang aktifis dakwah untuk tidak hanya imannya tak terganggu dari arah itu, namun juga membuatnya menjadi lebih ideal. [sumber : bersama dakwah]