Senin, 14 Januari 2013

ADAPTASI SEUMUR HIDUP

"Pernikahan adalah adaptasi seumur hidup!".
Itu nasihat mertua saya dihari pertama saya menikah. Kalimatnya sederhana, tapi dalam maknanya. Setelah saya mendalami ilmu tentang komunikasi antar pribadi dan komunikasi antar budaya, semakin mengertilah saya, betapa tidak sederhananya mengimplementasikan 'saling adaptasi' itu, apalagi seumur hidup.
Pernikahan adalah tempat dimana dua pribadi - dengan dua latar belakang yang berbeda - musti bersatu, setiap hari, selama sisa hidupnya. Diawal pernikahan mungkin dua perbedaan ini tidak terlalu menjadi masalah, karena bunga-bunga cinta dan kebahagiaan seolah menutup adanya potensi masalah ini. Tapi setelah berjalan sebulan - dua bulan, 'aslinya' mulai keliatan. Konflik-konflik kecil mulai muncul, dari masalah naruh handuk, baju kotor, menata rumah, dan sebagainya. Perbedaan kebiasaan inilah yang membutuhkan 'kedewasaan' dua belah pihak untuk saling 'menyesuaikan' satu sama lain.
Adaptasi berarti menyesuaikan. Kata ini akan menjadi lebih bijak diterima daripada harus saling menuntut peran antara suami - istri. Ada suatu rumah tangga, dimana antara suami dan istri tidak berhenti saling 'menuntut' peran masing-masing. Sang suami menganggap istrinya tidak terlalu pandai mengurus rumah dan anak. Rumah selalu kelihatan berantakan, cucian tidak ada yang bersih, anak-anak bergantian yang sakit. Ketidakpuasan suami inilah yang menyebabkan suami sering 'turun tangan' sendiri menangani keadaan rumah dengan omelan yang berkepanjangan.
Sikap suami inilah yang menyebabkan sang istri tidak 'nyaman' dengan tuntutan sang suami. Jujur, memang ketrampilan mengurus rumah dan anak tidak 'setinggi' yang diharapkan suaminya. Dia juga sudah berusaha, namun tampaknya, menurut suami it's not enough, karena ibunya dulu jauh lebih trampil dari istrinya (ini masalah kebiasaan yang dibawa sebelum menikah lo ....).
Nah, sebagai bentuk 'balasan' rasa tidak nyaman yang ditimbulkan oleh suami, sang istri kemudian menuntut tanggung jawab suami masalah nafkah yang diberikan. Memang, harus diakui rizki Allah belum melimpah ke keluarga tersebut. Usaha suami dinilai belum maksimal mengusahakan nafkah yang cukup bagi keluarga. Jadi ?
Memang, masalah tuntut-menuntut peran ini tidak akan pernah berhenti, sepanjang belum ada kesadaran masing-masing pihak untuk 'menghentikan tuntutan' (kaya' kasus pengadilan aja ya?) dan mulai 'menerima' pasangan apa adanya. 
Inilah yang dimaksud dengan ADAPTASI. Proses ini adalah proses untuk saling menyesuaikan, menerima pasangan apa adanya, dan tidak 'berusaha' mengubah pasangan seperti keinginannya. Proses adaptasi ini adalah proses yang interaktif, dialektik antara suami dan istri. Proses ini nantinya akan menghasilkan 'budaya ketiga' , budaya kompromi dan budaya campuran (mixed culture) yang disepakati oleh suami dan istri.
Bagaimana dengan seumur hidup?
It means that, proses adaptasi diatas merupakan usaha yang harus kita lakukan seumur hidup! Setiap hari kita akan menemukan hal baru dari pasangan kita (demikian juga sebaliknya, pasangan kita juga pasti akan menemukan sesuatu yang baru pada diri kita). 
Ketika kita sedang be-te, banyak masalah di kantor, kehadiran anak, kehadiran keluarga di rumah, kondisi ekonomi, dll adalah situasi dan kondisi yang mengharuskan kita untuk terus beradaptasi dengan pasangan. 
Perlu diingat :
Tingginya daya adaptasi diantara suami-istri akan mempengaruhi kesolidan mereka dalam mengatasi berbagai masalah di rumah tangganya. There is no such a big problem as long as you are with me!
Jangan pernah berusaha untuk 'merubah' pasangan seperti yang kita inginkan! Karena ia dibesarkan dengan budaya dan caranya sendiri. Yang bisa kita lakukan adalah dengan beradaptasi / menyesuaikan dengan kebiasaan-kebiasaan dirinya.
sumber: family comunication.com

0 komentar:

Posting Komentar